Sejatinya, dalam nalar bangsa yang sehat dan normal, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mustahil memenangkan kontestasi pemilihan presiden 2024. Mustahil — bukan karena kebencian politik, melainkan karena akal sehat tak bisa ditipu begitu saja. Bila demokrasi dibiarkan bekerja sesuai relnya, pasangan ini semestinya tak sanggup menandingi pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar ataupun Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Tapi realitas berkata lain. Prabowo-Gibran justru unggul. Dan kini, harga dari keanehan itu mulai ditagih oleh sejarah.
Mari kita buka ulang catatan yang sudah kita tahu tapi seolah diminta untuk melupakan. Gibran adalah kartu mati—secara etis, moral, maupun kompetensi. Ia naik ke panggung nasional bukan karena prestasi, melainkan karena mekanisme hukum ditelikung. Putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi Gibran, adalah tragedi konstitusional terbesar pasca-Reformasi. Ketika ayahnya, Presiden Joko Widodo, menjadi penentu arah kuasa, independensi lembaga tinggi negara pun rontok satu per satu. Bahkan ratusan purnawirawan jenderal TNI—pilar-pilar moral dan logika negara—dengan terang menyerukan makzulkan Gibran. Tapi teriakan itu tenggelam dalam gelombang kekuasaan yang tak tahu malu.
Maka pemilu 2024 bukan pertarungan ide dan program. Ia hanyalah akrobat kekuasaan, dan rakyat dijadikan penonton yang dijejali manipulasi. Bila bukan karena intervensi struktural, pembiaran penyalahgunaan wewenang, serta mesin birokrasi yang digerakkan demi satu nama, tidak akan ada sejarah bernama “Wakil Presiden Gibran.” Dan kita tahu, saat sejarah dibangun di atas fondasi manipulasi, maka masa depan hanya akan menjadi ladang luka.
Kini luka itu mulai menganga. Efek domino mulai terasa. Kegamangan kabinet transisi, aroma transaksi jabatan yang makin kentara, serta sentimen publik yang tak bisa ditahan dengan pencitraan TikTok. Bangsa ini kembali tergelincir dalam pola lama: kekuasaan tanpa nurani, pemerintahan tanpa visi, dan kekuatan politik tanpa legitimasi moral. Kita sedang berada di ujung tanduk — bukan karena takdir, tapi karena akal sehat sengaja dikalahkan.
Yang terjadi bukanlah kemenangan, melainkan pembajakan. Kemenangan Prabowo-Gibran adalah tragedi demokrasi, dan tak ada yang lebih berbahaya dari kemenangan yang lahir dari kekalahan akal sehat rakyatnya sendiri.
Kita sedang tidak baik-baik saja. Dan jika bangsa ini tak segera mengoreksi arah, sejarah akan menuliskan: kita pernah dipimpin oleh orang yang bahkan belum selesai dengan dirinya sendiri.