Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024
Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlanjur dicitrakan sebagai lembaga tempat bersemayamnya para dewa. Pimpinan dan pegawainya pun dimitoskan sebagai manusia setengah dewa.
Ternyata itu salah. Pimpinan dan pegawai KPK ternyata manusia biasa. Sebagai manusia biasa, mereka perlu bekerja, misalnya. Bekerja demi kehormatan, atau bekerja sekadar mencari penghidupan.
Saat ini setidaknya ada dua mantan Pimpinan KPK yang sedang mencari pekerjaan. Keduanya adalah Nurul Ghufron dan Lili Pintauli Siregar.
Nurul Ghufron sedang mendaftar sebagai calon hakim agung Mahkamah Agung (MA) dari jalur non-karier. Wakil Ketua KPK 2019-2024 ini sudah lolos dalam seleksi administratif yang dilaksanakan Komisi Yudisial (KY).
Adapun Lili Pintauli Siregar, Wakil Ketua KPK 2019-2022, baru saja diangkat menjadi Staf Khusus Walikota Tangerang Selatan, Banten, Benyamin Davnie.
Bagi Ghufron, berburu jabatan hakim agung mungkin demi suatu kehormatan, bukan sekadar mencari penghidupan. Sebab, jabatan hakim agung masih tergolong tinggi, bahkan mungkin selevel dengan jabatan Wakil Ketua KPK.
Bagi Lili, menjadi Staf Khusus Walikota Tangsel mungkin sekadar mencari penghidupan, meskipun mungkin juga sekaligus mencari kehormatan, kendati kemungkinan itu sangat kecil. Pasalnya, jabatan Staf Khusus Walikota jelas jauh lebih rendah daripada jabatan Wakil Ketua KPK.
Johan Budi, selepas hengkang dari kursi Juru Bicara KPK dan Wakil Ketua KPK kemudian menjadi Juru Bicara Presiden Joko Widodo, dan kemudian menjadi anggota DPR RI dari PDI Perjuangan. Namun di Pemilu 2024, Johan Budi gagal terpilih lagi.
Febri Diansyah, selepas hengkang dari kursi Juru Bicara KPK kemudian memilih profesi sebagai advokat. Sayangnya ia kini sedang berurusan dengan KPK terkait kasus suap tersangka Harun Masiku yang melibatkan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto sebagai tersangka.
Mantan pegawai KPK lainnya, terutama yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), juga banyak yang beralih profesi menjadi pengacara.
Semua itu tak masalah. Sebab selain kehormatan, manusia juga butuh penghidupan. Untuk makan, manusia butuh pekerjaan. Maka sah-sah saja ketika mereka menjadi “job seekers” atau pemburu pekerjaan.
Integritas
Yang menjadi persoalan adalah apakah mereka punya integritas atau tidak. Jika tidak punya integritas, sungguh sangat berbahaya jika mereka diterima bekerja di instansi baru.
Nurul Ghufron, misalnya. Dosen hukum Universitas Negeri Jember ini sudah terbukti tidak punya integritas. Saat menjabat Wakil Ketua KPK, Ghufron pernah tersandung masalah.
Dewan Pengawas (Dewas) KPK pada 6 September 2024 lalu menyatakan Nurul Ghufron terbukti melakukan pelanggaran etik.
Dewas menilai Ghufron menyalahgunakan jabatannya untuk membantu mutasi Andi Dwi Mandasari sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kementerian Pertanian.
Untuk itu, Ghufron dijatuhi sanksi berupa teguran tertulis agar tidak mengulangi perbuatannya serta menjaga sikap dan perilaku dengan menaati kode etik selaku Pimpinan KPK.
Lolosnya Ghufron itu karena ia hanya dinyatakan melanggar kode etik. Hal ini sesuai dengan Peraturan KY Nomor 1 Tahun 2025 di mana Pasal 6 ayat (2), yang mengatur persyaratan administrasi calon hakim agung nonkarier, hanya mensyaratkan tidak pernah dijatuhi sanksi disiplin, bukan sanksi etik.
Padahal, etika lebih tinggi derajatnya daripada hukum pidana, apalagi hukum disiplin. Sebab itu, mestinya Ghufron tidak lolos seleksi administrasi calon hakim agung MA.
Apalagi MA kini sedang menjadi sorotan publik karena maraknya kasus suap di sana. Dua hakim agung terjerat korupsi. Mereka adalah Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh.
Dua bekas Sekretaris MA juga terlibat korupsi. Mereka adalah Nurhadi Abdurrahman dan Hasbi Hasan.
Citra MA makin babak belur ketika rumah mantan pejabatnya, Zarof Ricar di Jakarta digeledah KPK dan ditemukan uang tunai nyaris 1 triliun rupiah dan emas batangan seberat 50 kilogram terkait kasus mafia peradilan.
Saat rumah hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Ali Muhtarom digeledah, Kejaksaan Agung juga menemukan uang tunai 5,5 miliar rupiah yang disembunyikan di bawah tempat tidur kamar rumahnya di Jepara, Jawa Tengah. Fakta ini kian membuktikan bahwa banyak orang di MA yang tak berintegritas.
Jika orang yang tak berintegritas masuk lagi ke MA, maka akan kian sempurnalah kebobrokan benteng terakhir pencari keadilan ini.
Kini, bola ada di tangan KY dan juga Komisi III DPR jika nanti melakukan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) terhadap Ghufron yang akan ditempatkan di kamar pidana. Tapi memang biasanya DPR lebih memilih orang yang bermasalah supaya bisa mereka kendalikan.
Lili Pintauli Siregar juga terjerat kasus dugaan suap saat menjabat Wakil Ketua KPK. Wanita yang kini menjadi Staf Khusus Walikota Tangsel Bidang Hukum ini beberapa kali dilaporkan ke Dewas KPK.
Kasus Lili yang sempat menghebohkan publik adalah saat ia menerima fasilitas serta akomodasi menonton balap MotoGP Mandalika, Lombok, NTB, Maret 2022.
Lili diduga menerima tiket penginapan dan tiket MotoGP Mandalika. Dewas KPK telah meminta konfirmasi pihak BUMN, yakni PT Pertamina, untuk membawa dokumen-dokumen yang berhubungan dengan perkara ini.
Dikutip dari sebuah sumber, dokumen itu antara lain tiket MotoGP pada Grandstand Premium Zone A-Red dan penginapan di Amber Lombok Beach Resort.
Lili sebelumnya juga pernah dijatuhi sanksi etik pemotongan gaji terkait penyalahgunaan pengaruh dan hubungannya dengan pihak berperkara di KPK, yakni Walikota Tanjungbalai nonaktif M Syahrial.
Lili kemudian mengajukan surat pengunduran diri sebagai Wakil Ketua KPK. Surat pengunduran diri itu ditandatangani Joko Widodo yang saat itu menjabat Presiden.
Lili pun batal diadili Dewas KPK lantaran sudah bukan insan KPK lagi. Namun, integritas dia tetap patut dipertanyakan. Pasalnya, ia tidak diadili bukan karena tidak punya masalah, tapi karena telah mengundurkan diri setelah ada masalah.
Kini, bola soal Lili ada di tangan Walikota Tangsel Benyamin Davnie.