Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Wartawan
Jakarta – Indonesia kaya-raya. Tanahnya subur. Lautannya luas. Angkasanya tak berbatas Sumber daya alam dan sumber daya manusianya berlimpah. Ironisnya, rakyatnya papa. Negaranya bergelimang utang.
Sebab itu, Indonesia sering dikonotasikan sebagai negeri kutukan. Tapi tidak. Indonesia bukan negeri kutukan. Tuhan tak pernah mengutuk siapa pun. Kecuali setan.
Indonesia hanya salah urus saja. Salah urus oleh para pemimpinnya. Dari era ke era. Yang terjadi paradoks semua. Sampai rakyat nyaris putus asa.
Indonesia dikenal religius. Tapi korupsi terjadi di mana-mana. Semua trias politika kena. Eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pucuk-pucuk pimpinan mereka kena. Ada puluhan menteri. Ada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ada Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ada Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Ada hakim agung Mahkamah Agung (MA).
Bahkan insan pers yang merupakan pilar keempat demokrasi, setelah trias politika, tak luput dari rasuah. Maka sempurnalah korupsi di Indonesia.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat, total transaksi aliran dana pada kasus dugaan tindak pidana korupsi selama 2024 mencapai Rp984 triliun. Nyaris sepertiga dari APBN 2024 yang mencapai Rp3.325 triliun.
Indonesia dikenal adi luhung budaya dan tata kramanya. Tapi banyak pejabat tak punya muka. Salah pun tetap jemawa. Banyak pejabat kaya-raya. Tapi rakyat penuh nestapa.
Sumber daya alam Indonesia sangat berlimpah. Ada emas, tembaga, emas putih (nikel), emas hitam (batubara), emas hijau (hutan), emas biru (lautan) dan sebagainya. Tapi rakyat Indonesia cukup menjadi penonton saja. Semua sumber daya alam itu banyak dirampok dan dibawa ke mancanegara. Rakyat Indonesia tetap papa (miskin dan sengsara).
Indonesia pun bergelimang utang. Nilai utang pemerintah pusat mengalami kenaikan per Januari 2025, mencapai R8.909,14 triliun atau naik sekitar 1,22% dari catatan per Desember 2024 sebesar Rp8.801,09 triliun.
Angka pengangguran di Indonesia terus bertambah. Tahun 2025 ini diperkirakan mencapai 5,10% atau 7,42 juta orang.
Angka kemiskinan juga masih relatif tinggi. Tahun 2024 lalu, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 24,06 juta orang.
Indonesia adalah negara agraris. Tapi nyaris semua bahan pangan harus impor. Beras impor. Gandum impor. Kedelai impor. Daging pun impor.
Indonesia adalah negara maritim. Tapi garam industri saja harus impor. Padahal Indonesia adalah negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.
Kalau sudah begini, lalu salah siapa? Tentu saja yang mengurus negara. Trias politika. Ada eksekutif. Ada legislatif. Ada yudikatif.
Kalau para pemimpin itu tak kunjung “siuman” dan menyadari kesalahannya, bukan tidak mungkin Indonesia akan benar-benar menjadi negeri kutukan.
Tuhan akan murka melihat para pemimpin merajalela. Murka Tuhan bisa ditumpahkan lewat alam atau manusia. Bencana alam seperti tsunami bisa melanda. Revolusi seperti 1998 bisa jadi bukan isapan jempol belaka.
Kini, kondisi Indonesia ibarat perempuan hamil tua. Prabowo Subianto, waspadalah!