Dalam banyak negara yang tengah berjuang menegakkan demokrasi, ada pertarungan panjang antara integritas dan kekuasaan. Namun, di republik ini, yang menang justru kekuasaan yang tak lagi malu-malu merusak integritas. Kita bukan sekadar hidup di masa krisis moral, melainkan dalam zaman ketika dusta diresmikan, dan kebenaran dibungkam melalui palu sidang.
Bangsa model apa ini, ketika seorang pemimpin yang diduga menggunakan ijazah palsu justru dielu-elukan sebagai simbol keberhasilan pembangunan? Alih-alih menyelidiki secara tuntas demi menjaga martabat institusi pendidikan nasional, yang terjadi justru pengadilan dijadikan alat balas dendam terhadap siapa pun yang berani mengungkap. Keadilan kini tak lagi ditentukan oleh kebenaran, tapi oleh siapa yang paling dekat dengan kekuasaan.
Tuduhan serius terkait keaslian ijazah Presiden Joko Widodo bukan sekadar persoalan administratif. Ia menyentuh akar etika bernegara. Namun alih-alih dijawab dengan transparansi, isu itu justru dijawab dengan vonis. Berkali-kali pengadilan menghukum pelapor, bukan karena mereka bersalah secara hukum, tapi karena mereka mengganggu narasi besar yang sudah dijual bertahun-tahun: bahwa pemimpin ini lahir dari rakyat dan suci dari cacat.
Lebih tragis lagi, ketika premanisme dijadikan alat negara. Kritik warga dibalas dengan intimidasi fisik dan psikis. Para preman berbaju ormas seolah mendapat restu tak tertulis dari aparat, merangsek masuk ke ruang-ruang kritik yang mestinya dilindungi oleh konstitusi. Kekuasaan tak segan merangkul kekerasan untuk mempertahankan legitimasi. Apakah kita masih bisa menyebut ini demokrasi, jika kebebasan berpendapat dibungkam dengan gertakan?
Pada April 2023, Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), sebuah lembaga internasional yang berfokus pada pemberantasan korupsi dan kejahatan terorganisir, menempatkan seorang tokoh Indonesia di peringkat kedua tokoh paling korup di dunia. Tokoh itu, yang lekat dengan lingkar kekuasaan, justru diutus menghadiri pemakaman Paus Benediktus XVI di Vatikan. Dunia menyaksikan wajah ironi Indonesia: seorang yang reputasinya tercoreng justru mewakili negara dalam upacara religius suci.
Simbol-simbol moralitas publik dirusak secara sadar oleh para pemegang kuasa. Ketika dunia memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas, kita justru menunjuk duta dari kubangan skandal.
Tak cukup sampai di situ. Lembaga konstitusi tertinggi—Mahkamah Konstitusi—yang seharusnya menjadi benteng terakhir penjaga demokrasi, justru menjadi alat meloloskan anak presiden untuk maju sebagai calon wakil presiden. Putusan Mahkamah yang ditolak akal sehat dan melanggar etika itu, hanya menjadi formalitas untuk memenuhi ambisi politik keluarga. Dinasti pun lahir, tidak dari mekanisme demokrasi yang sehat, tetapi dari celah hukum yang direkayasa.
Ketika koruptor dilindungi, disambut hangat dalam pesta-pesta politik, bahkan diberi jabatan strategis, sementara rakyat diminta untuk terus bersabar menunggu pemerataan kesejahteraan yang tak kunjung datang—maka negeri ini sedang berjalan mundur dengan langkah pasti. Penegakan hukum hanyalah etalase, yang dipajang rapi tapi kosong di dalamnya.
Inilah negeri yang membungkam nurani, dan merawat dusta. Negeri yang menjadikan kebohongan sebagai alat kekuasaan, dan kekuasaan sebagai dalih untuk membungkam kebenaran.
Yang jadi pertanyaan kini: sampai kapan rakyat akan bertahan dalam ilusi pembangunan dan pencitraan ini? Sampai kapan suara hati akan terus dipaksa diam oleh ancaman dan hukuman?
Mungkin, seperti kata penyair Rendra, “Negeri ini sedang sakit.” Tapi jangan-jangan, negeri ini sudah lama mati akal budinya—dan kita hanya sibuk merayakan pemakamannya dengan upacara-upacara kemunafikan.