Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024

Jakarta, Fusilatnews – Korupsi sesungguhnya adalah domain dan dominasi kaum lelaki. Maka ketika ada perempuan yang terlibat korupsi, itu pengecualian namanya.
Sayangnya, pengecualian itu kini bertambah banyak. Teranyar adalah Walikota Semarang, Jawa Tengah, Hevearita Gunaryanti Rahayu. Perempuan yang akrab disapa Mbak Ita ini ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka korupsi di lingkungan Pemerintah Kota Semarang, Rabu (17/7/2024).
Ada tiga kasus dugaan korupsi di lingkungan Pemkot Semarang, yaitu pengadaan barang dan jasa tahun 2023-2024, pemerasan terhadap pegawai negeri atas insentif pemungutan pajak dan retribusi daerah Kota Semarang, dan penerimaan gratifikasi tahun 2023-2024.
Kantor dan rumah Mbak Ita pun digeledah KPK. Ironisnya, penggeledahan dan penetapan tersangka Mbak Ita itu terjadi hanya tiga hari berselang setelah Semarang menjadi salah satu kota yang disinggahi kegiatan Roadshow Bus Kota bertajuk “Jelajah Negeri Bangun Anti-Korupsi” selama empat hari, Kamis-Minggu (11-14/7/2024).
Sederet agenda kampanye anti-korupsi dari lembaga antirasuah itu digelar di Kota Semarang dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk pejabat Pemkot Semarang, tak terkecuali Mbak Ita.
Adapun tujuan Roadshow Bus KPK tersebut adalah mengajak masyarakat bersama-sama memberantas korupsi dan menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik.
Ketika kemudian Mbak Ita ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi, maka ironis bukan?
Fenomena Srikandi Korupsi
Dikutip dari Wikipedia, Sabtu (20/7/2024), Srikandi atau Dewanagari adalah tokoh androgini dalam wiracarita dari India, Mahabharata.
Srikandi adalah putri dari Raja Drupada dan permaisuri Persati dari Kerajaan Panchala. Dalam kitab Mahabharata bagian Adiparwa dan Udyogaparwa dijelaskan bahwa ia merupakan reinkarnasi putri kerajaan Kasi bernama Amba, yang meninggal dunia dengan hati penuh dendam kepada Bisma, pangeran dinasti Kuru.
Kemudian Amba terlahir kembali (reinkarnasi) sebagai anak perempuan Drupada. Namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai laki-laki. Versi lain menceritakan bahwa ia bertukar kelamin dengan yaksa (makhluk gaib).
Srikandi kemudian dikenal sebagai pahlawan perempuan yang gagah berani.
Ketika kini nama Srikandi dipinjam dalam tulisan ini yang membahas ihwal korupsi, bukan bermaksud merendahkan ketokohannya di dunia pewayangan, melainkan sekadar mengasosiasikan keberaniannya dengan perempuan-perempuan Indonesia masa kini yang berani melakukan korupsi.
Pun, ketika tulisan ini membahas perempuan-perempuan yang terlibat korupsi, bukan berarti bermaksud merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan, melainkan sekadar mengingatkan bahwa perempuan pun bisa melakukan korupsi kalau punya kewenangan dan kesempatan. Sebagai manusia apalagi ibu dari manusia, harkat dan martabat perempuan tetaplah mulia.
Ada dua penyebab korupsi: niat dan kesempatan. Ada niat tapi tak ada kesempatan, tidak jadi itu barang. Ada kesempatan tapi tak ada niat, tidak jadi itu barang.
Adapun ihwal korupsi terkait dengan kewenangan tercermin dari adagium Lord Acton (1834-1902), “The power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan yang absolut akan absolut pula korupnya).
Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), seperti dilansir Kompas.com, Rabu (10/6/2024), mengungkapkan, perempuan yang menjadi pejabat politik cenderung lebih hati-hati dalam hal korupsi.
Kesimpulan itu merujuk pada riset terhadap ratusan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hingga DPR di tingkat pusat maupun daerah.
Misalnya, 18 kasus korupsi di KPU sepanjang 2003-2019, hanya terdapat 1 perempuan yang terlibat, sementara 29 orang lainnya laki-laki.
Kemudian, dari 13 kasus korupsi di Bawaslu sepanjang 2013-2023, 13 di antaranya merupakan laki-laki sementara 4 lainnya perempuan. Sebanyak 11 pelaku tidak diketahui identitasnya.
Adapun dari 76 kasus korupsi di DPR RI sejak 2004 hingga 2023, pelaku laki-laki berjumlah 62 orang sementara perempuan 11 orang.
Peneliti Maria Fernanda Rivas dari University of Granada dalam hasil penelitiannya bertajuk, ”An Experiment on Corruption and Gender” (2008) mengungkapkan, perempuan kurang korup dibandingkan laki-laki. Ini disebabkan antara lain karena perempuan lebih berorientasi pada hubungan (relationship-oriented), lebih beretika, lebih peduli pada kebaikan bersama dibandingkan dengan laki-laki, dan lebih mudah mengorbankan keuntungan pribadi untuk kesejahteraan bersama.
Selain Mbak Ita, sebelumnya puluhan Srikandi juga terlibat korupsi. Sebut saja Mindo Rosalina Manulang, Miranda Swaray Gultom, Nunun Nurbaeti, Angelina Sondakh, Neneng Sri Wahyuni, Chairun Nisa, Susi Tur Andayani, Ratu Atut Chosiyah, Atty Suharti, Rita Widyasari, Pinangki Sirna Malasari, Siti Masitha dan sebagainya.
Pun, istri Walikota Palembang, Sumatera Selatan, Masyito, istri Bupati Karawang, Jawa Barat, Nur Latifah, dan hakim tinggi Pasti Serefina Sinaga.
Ada sebagian dari mereka yang hanya menjadi pelaku turut serta tindak pidana korupsi suaminya, atau dikenal dengan istilah “swarga nunut neraka katut” (ke surga ikut ke neraka turut).
Mereka yang masuk kategori terjerumus tindak pidana korupsi yang dilakukan suaminya antara lain Neneng, Masyito, dan Nurlatifah. Kebanyakan dari mereka turut serta menjadi perantara atau malah bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi.
Tetapi ada pula yang menjadi pelaku utama. Misalnya Rosa, Miranda, Nunun, Angelina, Chairun Nisa, Susi, Atut, Pasti, Atty, Rita, Siti Masitha, Pinangki dan sebagainya. Mereka menjadi pelaku tindak pidana korupsi karena berkaitan dengan kewenangan atau jabatannya.
Ihwal perempuan dan korupsi sebenarnya telah didalami Anne-Marie Goetzs, peneliti Institute of Development Studies University of Sussex, dalam buku berjudul Political Cleaners: How Women are The New Anti-Corruption Force (2003).
Seperti dilansir sebuah media, ia mencoba menjawab pertanyaan kecenderungan perempuan untuk korupsi lebih kecil daripada laki-laki atau ‘women tends to be less corrupt than men”.
Menurut Anne, selama ini perempuan memang cenderung kurang memiliki akses (excluded) atas jabatan-jabatan publik. Jabatan publik didominasi kaum lelaki yang memiliki jaringan lebih kuat. Dengan demikian, tidak mengherankan jika jumlah perempuan yang menjadi pelaku korupsi relatif sedikit.
Fenomena Suami “Swarga Nunut Neraka Katut” Istri
Dugaan keterlibatan Mbak Ita dalam kasus korupsi juga kian menegaskan adanya fenomena suami yang “swarga nunut neraka katut” istri yang terlibat korupsi.
Diketahui, Alwin Basri, suami Mbak Ita juga disangka terlibat kasus korupsi yang menjerat sang istri.
Sebelumnya, suami-suami yang ikut terlibat kasus korupsi sang istri antara lain, Itoch Tochijan yang terlibat kasus korupsi bersama istrinya, Walikota Cimahi, Jawa Barat, Atty Suharti.