FusilatNews – Di tengah sengkarut politik pascarezim Jokowi yang semakin mencengkeram lewat relasi kuasa, satu perkara terus membayang: tuduhan bahwa Presiden Joko Widodo menggunakan ijazah palsu. Bagi sebagian pihak, ini hanya isu daur ulang jelang tahun-tahun politik. Tapi bagi sebagian lain, ini adalah pangkal keonaran yang tak pernah dibereskan sejak awal. Dan di sinilah absurditas itu bermula: sebuah negara besar yang tidak mampu memastikan keaslian ijazah kepala negaranya.
Beberapa bulan yang lalu, TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis) justru lebih dahulu melaporkan Presiden Jokowi ke Bareskrim Polri atas dugaan penggunaan ijazah palsu. Laporan tersebut tidak dianggap angin lalu. Bareskrim menerima laporan itu karena ada minimal dua barang bukti yang dilampirkan oleh pelapor. Dalam prosesnya, dua tokoh dari TPUA, yakni Eggi Sudjana dan Damai Hari Lubis, telah diperiksa sebagai saksi pelapor. Sementara itu, Presiden Jokowi, yang didampingi oleh kuasa hukumnya, kemudian melaporkan sejumlah pihak yang dianggap menyebarkan tuduhan ijazah palsu—yakni Roy Suryo, Rismon Siahaan, dr. Tifa, dan Rizal Fadhilah—ke Polda Metro Jaya, dengan tuduhan penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian.
Jika kedua laporan ini bergulir di meja hijau, publik akan menyaksikan benturan argumen yang hanya bisa dipatahkan atau dikuatkan oleh satu hal mendasar: keaslian ijazah. Bukan pernyataan kampus, bukan klarifikasi staf khusus, dan tentu bukan tekanan dari media bayaran. Di ruang persidangan, yang dituntut adalah bukti otentik. Dan dalam perkara ini, ijazah asli akan menjadi titik sentral, apakah sebagai alat bukti yang membersihkan nama atau justru membuka pintu baru dalam krisis legitimasi.
Ini yang membuat perkara ini menjadi sangat menarik—dan sekaligus menegangkan. Bila benar terjadi persidangan terbuka, maka integritas institusi hukum Indonesia akan diuji secara terang-benderang. Namun kekhawatiran yang membayang bukan hanya pada isi ijazah, tetapi pada kemungkinan intervensi. Sejarah mengajarkan bahwa tidak sedikit hakim di negeri ini yang mudah goyah, menjadi bagian dari komplotan kekuasaan, atau kehilangan keberanian untuk menegakkan keadilan secara murni.
Melalui laporan pidana terhadap pengkritiknya, Jokowi seolah ingin menutup perdebatan secara paksa. Padahal, ada satu langkah yang lebih bijak dan efisien: memperlihatkan ijazah aslinya ke publik. Langkah itu akan menjadi penanda kepercayaan diri, sekaligus menghentikan bola liar yang sejak lama menjadi perbincangan publik. Bila benar ijazah itu sah dan asli, mengapa harus takut menunjukkannya?
Transparansi bukan kelemahan. Ia justru fondasi kekuatan dalam demokrasi. Dan kebenaran tidak akan pernah tumbang oleh pertanyaan, justru akan tumbuh ketika diuji.