OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Bagi sebagian besar masyarakat, Bulog identik dengan beras. Jarang-jarang mereka memahami Bulog itu akronim dari Badan Urusan Logistik. Bahkan di era Pemerintahan Orde Baru, Bulog sering dimainai sebsgsi “gudang beras”nya Pak Harto. Terlepas suka atau tidak, begitulah penilaian masyarakat terhadap keberadaan Bulog di Tanah Merdeka.
Beberapa waktu belakangan ini, kembali Bulog ramai dibincangkan. Pasalnya, karena Presiden Prabowo menginginkan agar Bulog dikembalikan ke suasana masa lalu dengan tetap mempertimbangkan kondisi kekinian. Presiden ingin agar Bulog terbebas statusnya dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan kembali menjadi lembaga Pemerintah langsung dibawah Presiden.
Membebaskan Bulog dari posisinya sebagai perusahaan plat merah, sebetulnya cukup beralasan. Bukan saja perubahan Bulog dari Lembaga Pemerintah Non Departemen, lebih banyak diinisiasi oleh Lembaga Keuangan Dunia sekelas IMF namun jika kita tengok selama 21 tahun Bulog jadi BUMN, ternyata peran bisnisnya tidak sehebat yang diharapkan.
Hasrat menampilkan Bulog mrnjadi “raksasa bisnis pangan”, terekam baru sebatas cita-cita. Itu pun jika tidak ingin disebut mengecat langit. Hampir tidak terdengar ada bisnis Bulog yang mendunia. Kalau pun terdengar, hanyalah melakukan usaha yang kecil-kecil dan tidak menggambarkan Bulog sebagai lembaga bisnis berskala internasional.
Justru selama ini, Bulog lebih banyak terekam melaksanakan penugasan Pemerintah dalam rangka tanggungjawab sosial sebagai operator Pemerintah. Sebut saja dalam menggarap Program Bantuan Langsung Beras bagi 22 juta rumah tangga penerima manfaat yang memperoleh beras sebesar 10 kg per bulan.
Sebagai pelaksana program, Bulog benar-benar piawai dan mampu menjalankan tugas dengan baik. Banyak pihak memberi acungan jempol atas kinerja yang ditempuhnya. Bagi Bulog, melaksanakan program seperti ini, bukanlah hal yang baru. Bulog telah cukup teruji ketika menggarap Program Beras Untuk Masyarakat Miskin (RASKIN) maupun Program Beras Untuk Masyarakat Sejahtera (RASTRA).
Ya, itulah Bulog. Janganlah ditugaskan untuk berbisnis, karena Bulog sejak kelahirannya, tidak disiapkan untuk jadi pedagang. Kalau pun dipaksa, terbukti hasilnya selama 21 tahun kurang optimal. Itu sebabnya, sangatlah tepat jika Presiden Prabowo berkehendak untuk mengembalikan Bulog sebagai lembaga otonom Pemerintah.
Membebaskan Bulog dari statusnya sebagai BUMN, mestinya jangan sampai harus menunggu waktu 21 tahun. Kepekaan dan kejelian kita dalam menangkap suasana yang sedang tercipta, sangatlah diperlukan. Akan lebih baik, jika setelah 5 atau 10 tahun berjalan, dilakukan evaluasi total terhadap perkembangan Bulog sebagai perusahaan plat nerah.
Terkait dengan kemauan politik Pemerintah untuk mengembalikan Bulog ke masa lalu, janganlah dianggap sebagai sebuah kemunduran. Memutar roda ke belakang, jangan sekalipun dinilai sebuah kemunduran. Tentu ada sisi positif yang dapat diambilnya. Artinya, kalau memutar roda ke belakang diarahkan untuk mengembalikan kejayaan Bulog, maka sah-sah saja hal itu ditempuh.
Menjadikan Bulog sebagai lembaga pangan yang mampu mendukung tercapainya percepatan swasembada pangan, bukanlah hal yang cukup mudah untuk diwujudkan. Hal ini, jelas tidak segampang Presiden Prabowo menyampaikan pidatonya. Swasembada pangan adalah perjalanan panjang yang butuh kerja keras, kerja cerdas dan terobosan inovatif.
Kata kunci swasembada pangan, utamanya beras adalah produksi yang berlimpah. Tanpa terjadinya peningkatan produksi, jelas tidak akan pernah ada yang namanya swasembada. Itu sebabnya, mengapa dalam mengejar pencapaian swasembada, Pemerintah tampil dengan program penggenjotan produksi, yang digarap melalui peningkatan luas tanam dan percepatan masa tanam.
Keberadaan Bulog sendiri diharapkan mampu berperan sebagai “offtaker”, yang bakal membeli gabah/beras petani dengan harga wajar dan memberi keuntungan bagi petani. Kalau petani merasakan keuntungan dalam mengelola usahatani padi, maka secara otomatis, tanpa diperintah pun, mereka otomatis akan bergairah untuk menanam padi.
Atas hal demikian, Pemerintah diharapkan membangun kembali persahabatan Bulog dengan petani sebagaimana terjadi pada saat Bulog dilahirkan. Memudarnya petsahabatan Bulog dengan petani, karena Bulog menjadi perisahaan plat merah, sudah waktunya dirajut lagi, sehingga hubungan simbiosis mutualistos antara Bulog dengan petani, tetap terjaga dan terpelihara.
Akhirnya penting disampaikan, mana mungkin Presiden Prabowo berhasrat untuk mengembalikan Bulog ke masa lalu, sekiranya tidak ada maksud tertentu yang ingin digapainya. Presiden tentu ingin kejayaan Bulog masa lalu dapat diulang kembali masa sekarang. Setidaknya, peran Bulog ketika kita meraih swasembada beras 1984, diharapkan dapat diulang kembali di era kepemimpinan Prabowo/Gibran.
Mari kita wujudkan semangat Presiden Prabowo untuk menjadikan Bulog sebagai lembaga pangan yang mampu memberi keberkahan sekaligus membawa kebaikan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).