Imam Khomeini pernah berkata, “Jika seluruh dunia melawanmu karena engkau menyuarakan kebenaran, maka berdirilah tegak; sebab kebenaran tak memerlukan pembenaran, apalagi persetujuan.” Dari kota Qom hingga pengasingan di Najaf dan Paris, ia bukan seorang jenderal dengan senjata, melainkan seorang ulama yang berjuang dengan khutbah, pena, dan rekaman kaset. Ia melawan monarki absolut Shah Iran yang disangga kekuatan adidaya Amerika Serikat. Satu per satu rekaman ceramahnya diselundupkan ke masjid-masjid dan kampus-kampus, menyulut nyala api revolusi. Ketika kebenaran mulai menemukan telinganya, tak ada kekuatan yang mampu menghentikan langkah sejarah.
Begitu pula Nelson Mandela. Dua puluh tujuh tahun di penjara Pulau Robben tidak meluluhkan cita-cita keadilannya. Ia menolak kompromi setengah hati yang menjadikannya bebas dengan harga pengkhianatan terhadap perjuangan. Ia paham, kebenaran itu mahal: ia tidak bisa dibayar dengan kenyamanan pribadi atau jabatan palsu. Ketika ia akhirnya dibebaskan, bukan karena belas kasih penguasa, tapi karena sistem apartheid telah runtuh oleh keteguhan yang tak kenal lelah.
Di negeri ini, kebenaran kerap dikaburkan, bahkan dikubur hidup-hidup. Lalu siapa yang berani menggali dan menunjukkannya kepada publik, sering dianggap gila, pembuat gaduh, atau malah pengganggu stabilitas. Tapi sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani bertanya ketika yang lain diam. Dalam konteks hari ini, ketika ada warga negara yang bersuara lantang mempertanyakan ijazah asli Presiden Jokowi—yang seharusnya menjadi hal biasa dalam sebuah negara demokratis—mereka justru dijadikan tertuduh. Dibungkam, diadili, bahkan diasingkan dari wacana publik.
Tapi bukankah pertanyaan itu sah? Bukankah transparansi adalah batu pertama dalam pondasi demokrasi?
Meminta Jokowi memperlihatkan ijazah aslinya bukan sekadar soal dokumen pendidikan. Ini adalah simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang kian tak tersentuh kritik. Dan ketika Prabowo—yang dahulu lantang mengkritik—kini justru menjadi penerus kekuasaan itu, lengkap dengan gaya, struktur, dan lingkar kekuasaan yang sama, maka tugas melawan kebohongan belum usai. Bahkan semakin mendesak.
Kita tidak perlu menunggu massa besar untuk memulai. Seperti Imam Khomeini yang memulai revolusi dari pengasingan, seperti Mandela yang memulai perjuangan dari balik jeruji, atau Mahatma Gandhi yang melawan imperium Inggris dengan doa dan garam, maka satu suara yang bersih bisa lebih nyaring dari ribuan suara yang dibeli.
Jangan takut sendirian dalam memperjuangkan kebenaran. Sebab keberanian yang tulus lebih tajam daripada senjata, dan lebih abadi daripada tepuk tangan.
Jokowi mungkin akan berlalu, tapi warisan kekuasaannya masih menempel erat pada mereka yang mewarisinya. Maka perjuangan menuntut kebenaran tidak berhenti di permintaan ijazah, melainkan harus berlanjut dengan menjatuhkan rezimnya—yang kini hidup kembali dalam tubuh Prabowo dan para pewaris dinasti Jokowi.
Kebenaran harus diteruskan. Walau tanpa teman. Sebab dalam sunyinya perjuangan, suara Tuhan justru lebih nyaring terdengar.
Kita tahu benar, sejarah adalah milik mereka yang tak tunduk pada ketakutan. Yang terus bersuara meski dunia menutup telinga.