OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Dalam siklus kehidupan manusia, usia menjelang 3 tahun, sering disebut sedang “lelengkah halu”. Secara harafiah, “Lélengkah Halu” berarti “langkah goyang”. Ungkapan ini menggambarkan seseorang yang belum stabil dalam langkahnya, seperti anak kecil yang sedang belajar berjalan. Ada keraguan, ada ketidakpastian, tapi juga ada semangat dan keinginan untuk maju.
Namun demikian, makna “Lélengkah Halu” tidak berhenti di situ. Ia juga bisa merujuk pada seseorang yang masih baru dalam suatu bidang, belum memiliki banyak pengalaman, dan terkadang melakukan kesalahan. Bisa berupa orang baru di tempat kerja, pelajar yang menjajaki dunia baru, atau bahkan seseorang yang mencoba hal baru dalam hidupnya.
Begitu pun dengan kehadiran dan keberadaan Badan Pangan Nasional, yang lahir berdasar Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2021. Menapaki usianya yang ke 3, sering kita saksikan kebijakan yang ditempuhnya terlihat belum sistemik dan mengesankan hanya sebatas menggugurkan kewajiban semata. Fungsi koordinasi yang diemban lembaga pangan tingkat nasional ini belum optimal bisa ditempuh.
Kalau kita pertegas apa yang diharapkan dengan keberadaan lembaga pangan tingkat nasional, sesuai fungsi yang tersurat dalam Perpres No.66/2021, Badan Pangan Nasional diminta untuk dapat mengkoordinasikan, merumuskan dan menetapkan kebijakan ketersediaan pangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan, kerawanan pangan dan gizi, penganekaragaman konsumsi pangan, dan keamanan pangan.
Selain itu, Badan Pangan Nasional diminta pula untuk mengkoordinasikan
pelaksanaan kebijakan ketersediaan pangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan, kerawanan pangan dan gizi, penganekaragaman konsumsi pangan, dan keamanan pangan. Artinya, ada dua fungsi koordinasi yang harus digarap oleh BAPANAS, yakni koordinasi perumusan dan penetapan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan.
Lalu apa saja yang harus dikoordinasikannya ? Perpres tersebut jelas menyuratkan tentang ketersediaan pangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan, kerawanan pangan dan gizi, penganekaragaman konsumsi pangan, dan keamanan pangan. Mengacu kriteria Badan Pangan Dunia (FAO), fungsi diatas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Ketahanan Pangan.
Cikal bakal Badan Pangan Nasional memang Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian. Sebagian besar pegawainya pun berasal dari Badan Ketahanan Pangan. Akibatnya wajar, jika titik kuat dari fungsi-fungsi yang diembankan terhadap Badan Pangan Nasional, lebih bernuansa kepada pencapaian Ketahanan Pangan bangsa dan negara.
Amanat Undang Undang No.18/2012 tentang Pangan terkait dengan perlunya dibentuk lembaga pangan tingkat nasional, tentu tidak semata-mata soal Ketahanan Pangan. Tidak juga hanya bicara soal pertanian tanaman pangan. Namun, lembaga pangan yang dimaksud juga menangani urusan perikanan, kelautan, kehutanan dan jenis pangan lain sebagaimana didefinisikan dalam UU Pangan.
Pertanyaannya adalah apakah Badan Pangan Nasional yang dibentuk Pemerintah ini senafas dengan apa yang diimpikan oleh para Wakil Rakyat yang menyusun UU tersebut ? Jangan-jangan, Badan Pangan Nasional dibentuk hanya sekedar meluluskan tekanan dari berbagai pihak agar bangsa ini memiliki lembaga pangan tingkat nasional belaka ?
Sejarah mencatat, rasanya lama juga amanat UU Pangan soal perlunya dibentuk lembaga pangan tingkat nasional ini diwujudkan oleh Pemerintah. Hampir 9 tahun bangsa ini menunggu lahirnya Badan Pangan Nasional. Kita sendiri tidak tahu dengan pasti, mengapa Pemerintah begitu lama melahirkan Perpres tentang lembaga pangan tingkat nasional ini.
Padahal kita percaya, Pemerintah sendiri, tentu tidak akan melupakan pesan Proklamator Bangsa Bung Karno yang menyebut urusan pangan menyangkut mati dan hidupnya suatu bangsa. Jadi, tidak semestinya Pemerintah berlama-lama membentuk lembaga pangan tingkat nasional ini. Bukankah kalau bisa dipercepat, buat apa harus diperlambat ?
Terlepas dari ada yang kecewa dengan lahirnya lembaga pangan tingkat nasional sekelas Badan Pangan Nasional, tapi apa mau dikata, kini lembaga pangan ini telah hadir di tengah kehidupan kita. Yang menjadi tugas kita sekarang adalah bagaimana mengoptimalkan keberadaan dan kehadiran Badan Pangan Nasional dalam mewujudkan kinerja terbaiknya.
Turunnya produksi beras dengan angka yang cukup signifikan, lalu melejitnya harga beras di pasar dengan angka kenaikan yang ugal-ugalan serta fantastisnya rencana impor beras untuk tahun 2024, sebenarnya menuntut kepada Badan Pangan Nasional untuk lebih cerdas dan bernas dalam mengkoordinasikan, merumuskan dan menetapkan kebijakan pangan ke depan.
Di sisi lain, jujur kita akui, dengan dibubarkannya Dewan Ketahanan Pangan, sepertinya “simpul koordinasi” antar Kementerian/Lembaga di tingkat Nasional dan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota), tidak berlangsung seperti yang diharapkan. Sinergitas dan kolaborasi sulit dilakukan. Malah terekam antar Kementerian/Lembaga, jalan masing-masing.
Badan Pangan Nasional, tentu saja diminta untuk “mengingatkan” Kementerian/Lembaga, termasuk Daerah, kebijakan pangan itu sifatnya multi-sektor dan bukan sektoral. Itu sebabnya, pola koordinasi yang dirumuskan dan ditetapkan, baik dalam hal kebijakan atau pelaksanaan, pada dasarnya tetap harus berbasis kepada kinerja yang telah ditetapkan. (PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).