FusilatNews – Di tengah keraguan publik terhadap integritas birokrasi, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman memberi sinyal kuat bahwa reformasi bukan sekadar jargon, tetapi dimulai dari keberanian membangun norma di awal—norma yang menolak budaya titip-menitip dan menegakkan prinsip meritokrasi. Dalam pelantikan 12 pejabat tinggi Kementerian Pertanian pada 2 Mei 2025, Amran menyampaikan pesan eksplisit: “Jabatan adalah amanah dan harus dipegang oleh orang yang layak berdasarkan kinerja, bukan kedekatan atau relasi pribadi.”
Pernyataan ini bukan hanya simbol perlawanan terhadap praktik nepotisme yang kerap menggerogoti sistem birokrasi, melainkan deklarasi bahwa etika harus menjadi fondasi setiap kebijakan kelembagaan. Menariknya, ia mengungkap bahwa seseorang yang direkomendasikan melalui pesan singkat untuk dilantik justru langsung dicoret dari daftar pelantikan. Keputusan tersebut menyiratkan bahwa jabatan bukanlah hasil lobi, melainkan pencapaian berbasis kompetensi dan integritas.
Langkah ini perlu dipahami sebagai bentuk investasi jangka panjang untuk membangun kepercayaan publik dan profesionalisme aparatur negara. Jika norma meritokrasi ini benar-benar dijaga dan tidak hanya menjadi retorika, maka Kementerian Pertanian dapat menjadi role model bagi kementerian lainnya dalam membentuk iklim kerja yang adil, terukur, dan bebas dari intervensi kekuasaan personal.
Kepemimpinan Amran tampaknya tidak sekadar mengutamakan hasil, melainkan juga proses. Ia menyatakan bahwa semua kinerja akan dievaluasi secara langsung, dan siapa pun yang menunjukkan etos kerja tinggi berhak naik jabatan tanpa memandang eselon. Ini membuka ruang mobilitas vertikal yang sehat dan kompetitif, serta memperkuat gagasan bahwa kesuksesan karier di birokrasi adalah hasil dari kontribusi nyata, bukan keberuntungan politik.
Sebaliknya, bagi mereka yang tidak menunjukkan performa, Amran dengan tegas menyarankan untuk mundur. “Negara tidak bisa menunggu,” katanya. Pernyataan ini adalah peringatan keras bahwa birokrasi bukan tempat nyaman bagi mereka yang malas dan mencari zona aman, tetapi medan juang untuk pengabdian dan kerja keras.
Pelantikan ke-12 pejabat yang dilakukan hari itu menjadi konkretisasi dari prinsip tersebut. Mereka berasal dari latar belakang keilmuan dan pengalaman teknis yang kuat, memperlihatkan bahwa pemilihan didasarkan pada relevansi keahlian, bukan sekadar keterwakilan politik atau geografis. Dari pengelolaan bioteknologi, pembibitan ternak, hingga pengembangan literasi pertanian, jajaran baru ini diharapkan mampu membawa modernisasi yang berakar pada kompetensi dan inovasi.
Namun, tantangannya ke depan tidak ringan. Norma hanya akan menjadi nilai jika diinstitusionalisasi dan dikawal secara konsisten. Jika keberanian seperti ini hanya muncul di awal dan tidak berlanjut, maka akan tenggelam dalam arus kompromi struktural yang selama ini menjerumuskan birokrasi Indonesia. Oleh karena itu, Amran harus siap menjadi penjaga nilai, bukan sekadar pelaksana tugas.
Kementerian Pertanian sedang menunjukkan babak baru. Babak di mana keberanian memutus mata rantai budaya titipan bisa menjadi teladan. Jika norma ini dijaga dan diperluas, bukan mustahil reformasi birokrasi yang sejati bisa bertunas dari lahan pertanian: dari kementerian yang memahami bahwa untuk menanam hasil, kita harus mulai dari benih yang baik—dan dalam hal ini, benih itu adalah meritokrasi.
Penutup:
Membangun norma di awal bukanlah pekerjaan sekali jadi. Tapi keputusan Mentan Amran untuk menjadikan meritokrasi sebagai garis start adalah langkah berani dalam merawat tata kelola yang sehat. Kini, harapan publik hanya satu: agar norma ini tak layu sebelum berkembang.
Apakah Anda ingin menambahkan kritik terhadap implementasi meritokrasi di kementerian lain sebagai pembanding dalam esai ini?