Dalam dinamika politik dan pemerintahan Indonesia, setiap keputusan strategis yang diambil oleh Presiden Joko Widodo hampir selalu memiliki motif di baliknya. Salah satunya adalah keputusan menunjuk Hadi Tjahjanto sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) serta Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai penggantinya. Kini, dengan mencuatnya kasus sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) pagar laut di Tangerang, kita mulai memahami alasan di balik penunjukan tersebut. Apakah ini bagian dari jebakan politik?
HGU, HGB, dan Dugaan Upeti
Sertifikat HGB untuk pemagaran laut di Tangerang telah menimbulkan tanda tanya besar. Dalam kasus-kasus penerbitan hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB), kerap muncul dugaan adanya permainan kepentingan, termasuk kemungkinan upeti dalam proses pengeluaran sertifikat. Ini bukan pertama kalinya kebijakan agraria di Indonesia dikaitkan dengan praktik rente ekonomi yang menguntungkan segelintir pihak.
Ketika AHY mengaku tidak mengetahui keberadaan HGB pagar laut tersebut saat menjabat sebagai Menteri ATR/BPN, muncul pertanyaan: bagaimana mungkin seorang menteri yang bertanggung jawab atas urusan pertanahan tidak mengetahui keputusan penting terkait aset publik? Pernyataan “saya tidak tahu” terdengar lebih sebagai upaya cuci tangan ketimbang klarifikasi yang transparan.
Dua Sosok, Satu Tujuan?
Menunjuk Hadi Tjahjanto, mantan Panglima TNI, sebagai Menteri ATR pada 2022 mungkin terlihat sebagai langkah mengejutkan. Namun, bagi Jokowi, Hadi adalah figur yang dapat dipercaya untuk menjalankan tugas dengan loyalitas tinggi. Kedekatannya dengan Jokowi menjadikannya alat yang efektif dalam mengamankan kebijakan pertanahan, terutama dalam proyek-proyek besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dan berbagai pengembangan strategis lainnya.
AHY, di sisi lain, adalah figur dari lingkaran lawan politik Jokowi, yakni Partai Demokrat. Menunjuknya sebagai Menteri ATR/BPN bisa jadi adalah strategi untuk menempatkan dirinya dalam posisi rentan. Dengan menerima jabatan tersebut, AHY tak hanya dipaksa untuk bekerja dalam sistem yang sudah berjalan, tetapi juga menanggung risiko politik dari kebijakan yang sudah dibuat sebelumnya. Kasus HGB pagar laut ini adalah contoh bagaimana jebakan itu mulai terlihat.
Diam dan Tak Tahu: Strategi atau Ketidaktahuan?
Kini, setelah kasus ini mencuat, baik Hadi maupun AHY lebih memilih diam atau bersikap defensif. AHY mengklaim bahwa penerbitan HGB tersebut terjadi sebelum dirinya menjabat, sementara Hadi tak bersuara. Apakah ini berarti keduanya memang tidak tahu-menahu, ataukah mereka memilih untuk tidak bersuara karena tahu jebakan yang sudah disiapkan?
Jika memang ada dugaan bahwa penerbitan HGB ini melibatkan upeti, maka patut dicurigai siapa saja yang diuntungkan dan siapa yang menjadi korban. AHY dan Hadi mungkin hanya menjadi pion dalam skema besar yang melibatkan aktor-aktor kuat di balik layar. Jokowi, dengan pengaruh dan kontrolnya, tampaknya berhasil menempatkan mereka dalam situasi yang tidak menguntungkan.
Kesimpulan: Perangkap Politik yang Terencana?
Keputusan Jokowi dalam menunjuk Hadi Tjahjanto dan AHY ke posisi strategis di ATR/BPN kini tampak lebih sebagai langkah politis daripada sekadar urusan teknokratis. Dengan adanya kasus HGB pagar laut ini, kita dapat melihat bagaimana jebakan mulai bekerja: siapapun yang terlibat dalam proses ini bisa saja menjadi kambing hitam jika ada skandal yang mencuat.
Apakah AHY akan berhasil keluar dari jebakan ini tanpa merusak citranya? Ataukah ini akan menjadi noda yang membuatnya sulit bertarung dalam panggung politik nasional ke depan? Yang jelas, di balik setiap keputusan Jokowi, selalu ada perhitungan matang. Dan kali ini, bisa jadi perangkap sudah disiapkan jauh sebelum AHY atau Hadi menyadarinya.