Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)

Jakarta, Fusilatnews –Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep, Minggu (21/7/2024), merekomendasikan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara X, yang bernama asli Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo atau Gusti Bhre untuk maju sebagai calon walikota dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Surakarta, Jawa Tengah, 27 November 2024.
Pertanyaannya, mengapa Kaesang tidak merekomendasikan saja Sunan Pakubuwono XIII, yang bernama asli Hangabehi sebagai calon walikota, dan Mangkunegoro X sebagai calon wakil walikota untuk memimpin Kota Surakarta periode 2024-2029?
Jika itu terjadi, maka Pemerintah Kota Surakarta akan mengikuti jejak Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang dipimpin Gubernur Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Wakil Gubernur KGPAA Pakualam X.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang (UU) No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, jabatan Gubernur DIY diisi raja yang bertakhta, yaitu Sultan Hamengkubuwono, dan Adipati Pakualam sebagai Wakil Gubernur DIY.
Keduanya tidak dipilih langsung oleh rakyat, tapi ditetapkan oleh DPRD Provinsi DIY. Lalu dilantik oleh Presiden RI.
Mengapa Surakarta perlu meniru DIY? Karena keduanya analog. Bedanya, kalau DIY adalah wilayah provinsi yang dipimpin gubernur dan wakil gubernur, sementara Surakarta adalah wilayah kota yang dipimpin walikota dan wakil walikota.
Bedanya lagi, Yogyakarta adalah daerah yang punya keistimewaan atau kekhususan tertentu sehingga punya undang-undang khusus, sedangkan Surakarta bukan daerah yang punya keistimewaan atau kekhususan tertentu.
Namun, Yogyakarta dan Surakarta sesungguhnya berasal dari satu wilayah atau wilayah yang sama pada masa Kerajaan Mataram Islam.
Dikutip dari sebuah sumber, pada 22-23 September 1754, VOC mengadakan perundingan dengan mengundang Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi untuk membahas pembagian wilayah kekuasaan Mataram, gelar yang akan digunakan, dan kerja sama VOC dengan kesultanan.
VOC, atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie, yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Dutch East India Company, atau kongsi dagang di Hindia Belanda (kini Indonesia), yang berdiri tahun 1602 adalah sebuah perusahaan dagang yang bersejarah dan memiliki pengaruh besar dalam perkembangan ekonomi dan politik di Belanda pada abad ke-17 hingga ke-18.
Namun dalam perkembangannya kemudian menjadi alat Belanda menjajah Indonesia melalui “culture stelsel” atau sistem taman paksa, dan rodi atau kerja paksa.
Perundingan yang diinisiasi VOC tersebut akhirnya mencapai kesepakatan dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti di Karanganyar, Jawa Tengah, pada 13 Februari 1755 yang membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani, maka Pangeran Mangkubumi mendapat setengah wilayah Mataram Islam yang kemudian memunculkan kerajaan baru bernama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi lalu mendeklarasikan diri sebagai raja dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Namun, Raden Mas Said yang tidak puas dengan Perjanjian Giyanti tetap melakukan pemberontakan baik terhadap Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta maupun VOC.
VOC kemudian mengumpulkan pihak-pihak terkait di Salatiga, Jawa Tengah, pada 17 Maret 1757 untuk menyepakati perjanjian.
Dalam perjanjian itu, Raden Mas Said diakui sebagai pangeran merdeka dengan wilayah otonom berstatus kadipaten yang disebut Praja Mangkunegaran.
Perjanjian Salatiga menandai berdirinya Mangkunegaran. Mangkunegaran merupakan kadipaten yang posisinya di bawah kasunanan dan kasultanan, sehingga penguasanya tidak berhak menyandang gelar Sunan ataupun Sultan, tetapi bergelar KGPAA.
Di Kasultanan Yogyakarta pun terjadi perpecahan. Kadipaten Pakualaman atau Negeri Pakualaman atau Praja Pakualaman kemudian didirikan pada 17 Maret 1813, ketika Pangeran Notokusumo, putra dari Sultan Hamengkubuwono I dengan Selir Srenggorowati dinobatkan oleh Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Raffles yang memerintah saat itu sebagai KGPAA Pakualam I. Status kerajaan ini mirip dengan status Praja Mangkunagaran di Surakarta.
Sebab itu, ketika di DIY ada Sultan yang menjadi gubernur dan Pakualam yang menjadi wakil gubernur, di Surakarta pun seyogianya demikian. Walikota Surakarta dijabat Pakubuwono, sedangkan Wakil Walikota Surakarta dijabat Mangkunegoro.
Bedanya, bila di DIY gubernur dan wakil gubernur ditetapkan oleh DPRD, maka di Surakarta walikota dan wakil walikota dipilih langsung oleh rakyat.
Konsekuensinya, parpol-parpol di Surakarta atau Solo seyogianya sepakat untuk mengusung calon pasangan tunggal, Sunan Pakubuwono dan KGPAA Mangkunegoro sebagai calon walikota dan calon walikota dalam Pilkada Kota Surakarta 2024.
Kaesang telah memulainya. Namun seyogianya putra bungsu Presiden Jokowi itu mencalonkan Mangkunegoro X sebagai kandidat wakil walikota, sementara calon walikotanya adalah Sunan Pakubuwono XIII. Keduanya dilawankan dengan kotak kosong.
Atau boleh juga keduanya dilawankan dengan pasangan dari parpol atau gabungan parpol lain. Kalau memang benar rakyat Surakarta mencintai Sunan dan Adipatinya, niscaya mereka akan memilih keduanya menjadi walikota dan wakil walikota Surakarta.
Mengapa Kaesang mencalonkan Mangkunegoro X bukan Pakubuwono XIII?
Mungkin salah satu pertimbangannya adalah umur. Mangkunegoro X baru berumur 27 tahun, semantara Pakubuwono XIII sudah berumur 76 tahun.
Emas akan mencari emas. Perak akan mencari perak. Perunggu akan mencari perunggu. Sebagai anak muda, baru berumur 29 tahun, Kaesang tentu lebih memilih sesama anak muda.
Tapi orang tua pun kalau kapasitas dan integritasnya mumpuni, tidak masalah. Apalagi orang tua lazimnya lebih bijak daripada anak muda.
Rakyat Surakarta butuh perpaduan antara orang tua dan anak muda. Anak muda sebagai gas, orang tua sebagai rem. Jadi, tidak akan kebablasan.