Keputusan Kejaksaan Agung untuk memperpanjang masa penahanan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dalam kasus dugaan korupsi impor gula memunculkan berbagai reaksi. Langkah ini dianggap sah berdasarkan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 29 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang mengatur perpanjangan penahanan untuk perkara dengan ancaman pidana sembilan tahun atau lebih. Namun, perpanjangan ini menimbulkan tanda tanya besar, terutama ketika dibandingkan dengan kasus-kasus serupa yang melibatkan tokoh lain seperti Zulkifli Hasan (Zulhas) dan Airlangga Hartarto, yang justru menggantung tanpa kejelasan.
Alasan Formal Penahanan: Masih Dalam Penyidikan
Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa perpanjangan penahanan dilakukan karena penyidikan dan pemberkasan perkara belum selesai. Ini menjadi dasar hukum yang dianggap valid untuk menahan seorang tersangka lebih lama. Harli juga memastikan bahwa perpanjangan sesuai dengan prosedur KUHAP dan dilakukan untuk memastikan kelengkapan berkas sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan.
Namun, kuasa hukum Tom, Ari Yusuf, mengungkapkan kekecewaannya atas lamanya masa penahanan ini. Menurutnya, pihaknya telah menunggu sidang yang tak kunjung dimulai, sehingga memperpanjang masa tahanan terasa berlebihan. Penahanan yang berlarut-larut ini mencerminkan masalah klasik dalam sistem hukum Indonesia: ketidakpastian proses dan ketidakefisienan dalam pemberkasan.
Kasus Zulhas dan Airlangga: Standar Ganda dalam Penegakan Hukum?
Ketimpangan menjadi lebih jelas ketika membandingkan kasus Tom Lembong dengan Zulhas dan Airlangga Hartarto. Kedua tokoh politik ini pernah disorot dalam dugaan kasus hukum, tetapi hingga kini kasus mereka tidak menunjukkan perkembangan yang jelas. Proses hukum mereka tidak dilanjutkan, dan nasib perkara tersebut menggantung tanpa penyelesaian.
Zulhas, yang pernah terlibat dalam kasus dugaan korupsi lahan kehutanan, dan Airlangga, yang dikaitkan dengan dugaan penyimpangan dalam proyek pemerintah, sama-sama tidak mengalami , apalagi perpanjangan masa penahanan, atau proses hukum yang signifikan. Ketidakjelasan ini menimbulkan persepsi bahwa hukum diterapkan secara selektif, dengan perlakuan berbeda bagi tokoh tertentu.
Politisasi Hukum: Sebuah Dugaan yang Tak Terelakkan
Ada kemungkinan bahwa perpanjangan masa tahanan Tom Lembong bukan sekadar soal hukum, melainkan juga terkait dengan dinamika politik. Dalam iklim politik Indonesia, kasus-kasus korupsi kerap menjadi alat untuk menunjukkan ketegasan dalam pemberantasan korupsi atau bahkan untuk menekan pihak tertentu. Namun, jika langkah ini tidak diterapkan secara konsisten, publik akan kehilangan kepercayaan pada institusi hukum.
Kasus Zulhas dan Airlangga, yang “menggantung” tanpa penyelesaian, memperkuat dugaan bahwa ada perbedaan perlakuan antara tokoh-tokoh tertentu. Jika benar, maka ini menjadi ancaman besar bagi prinsip equality before the law yang seharusnya menjadi pilar utama dalam penegakan hukum.
Masa Depan Penegakan Hukum
Perpanjangan masa penahanan Tom Lembong adalah pengingat akan perlunya transparansi dan konsistensi dalam proses hukum. Ketika kasus Zulhas dan Airlangga tidak dilanjutkan tanpa alasan yang jelas, wajar jika publik mempertanyakan alasan sebenarnya di balik keputusan memperpanjang penahanan Tom. Apakah ini semata demi kelengkapan berkas, atau ada motif lain yang tersembunyi?
Jika hukum terus diterapkan secara tidak konsisten, dampaknya tidak hanya akan merusak kepercayaan publik tetapi juga memperburuk citra aparat penegak hukum. Untuk memperbaiki keadaan ini, aparat hukum harus berkomitmen pada prinsip keadilan yang menyeluruh, cepat, dan transparan.
Penutup
Kasus Tom Lembong mencerminkan dilema dalam penegakan hukum di Indonesia: lambannya proses hukum di satu sisi dan ketimpangan perlakuan di sisi lain. Tanpa transparansi dan akuntabilitas, hukum akan terus menjadi alat kekuasaan, bukan instrumen keadilan. Perpanjangan masa tahanan Tom Lembong harus dijelaskan dengan rinci kepada publik, bukan sekadar disandarkan pada alasan “masih dalam penyidikan.” Sebaliknya, kasus Zulhas dan Airlangga yang menggantung harus segera dituntaskan untuk menunjukkan bahwa hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu.