Sepuluh hari invasi Rusia ke Ukraina berjalan, belum ada tanda-tanda akan berhenti. Berdasarkan catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hingga Kamis (3/3/2022), sudah ada 227 warga sipil yang tewas, sementara 525 lainnya terluka. Sementara Layanan Darurat Negara Ukraina telah menyajikan angka yang jauh lebih tinggi. Mereka menyebut lebih dari 2.000 warga sipil telah tewas dalam konflik tersebut.
Merespons invansi itu, satu per satu negara-negara di dunia menjatuhkan beragam sanksi kepada Rusia. Amerika Serikat misalnya, memberlakukan pembatasan pada dua bank terbesar Rusia dan hampir 90 anak perusahaan lembaga keuangannya di dunia. AS bersama sekutu utamanya juga memblokir akses bank-bank Rusia tertentu ke SWIFT dan menargetkan hampir 80 persen dari semua aset perbankan di Rusia.
Sanksi Uni Eropa untuk Rusia
Sementara itu, Uni Eropa sepakat untuk menutup wilayah udara bagi maskapai Rusia dan melarang beberapa media pro-Kremlin. Sikap banyak negara yang memberikan sanksi atas Rusia ini membuat beberapa pihak membandingkannya dengan konflik Palestina-Israel. Sebab, dunia dianggap diam dan menutup mata atas kekerasan yang dilakukan Israel kepada warga Palestina.
Lantas, mengapa dunia merespons dua konflik tersebut secara berbeda?
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan, perbedaan sikap ini bergantung pada Amerika Serikat (AS). Apabila AS menghakimi serangan itu sebagai sesuatu yang salah, maka banyak negara akan memberi sikap serupa. “Dalam konteks seperti ini, yang berlaku adalah siapa yang kuat dialah yang menang atau hukum rimba,” kata Hikmahanto kepada Kompas.com, Sabtu (5/3/2022). “Sehingga kalau AS mengatakan ini salah, jadi semua mengekor,” sambungnya.
Karena itu, ia menyebut Indonesia tidak boleh bersikap demikian, yaitu menghakimi benar atau salahnya sebuah serangan. Akan tetapi, Indonesia harus meminta penghentian serangan dalam bentuk dan dalih apa pun. “Karena dalam Pasal 2 Paragraf 3 dari Piagam PBB mengatakan bahwa kalau ada perbedaan antar-bendera, maka harus diselesaikan secara damai,” jelas dia.
Sementara dalam konteks Palestina-Israel, Hikmanto mengatakan bahwa AS menganggap serangan Israel sebagai aksi bela diri. Menurutnya, AS berdalih bahwa tindakan Israel berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB. “Padahal Rusia mengatakan pakai Pasal 51 Piagam PBB juga untuk invasi Ukraina. Tapi AS bilang tidak boleh. Jadi kan jelas, yang menentukan AS dong,” imbuhnya.
Alasan mengapa Israel dan Palestina sulit berdamai
Sementara itu, menurut dosen Hubungan Internasional UGM Siti Mutiah Setiawati, setidaknya ada 3 alasan utama mengapa Israel dan Palestina sulit untuk berdamai.
1. Klaim agama dan sejarah
Mutiah mengatakan, sejumlah pendapat mengatakan bahwa bangsa Yahudi berhak atas tanah Palestina karena mereka pernah tinggal di sana. “Kemudian diusir di zaman Romawi dan tersebar di Eropa, Amerika, dan sebagian Asia. Mereka sudah ribuan tahun terusir,” kata Mutiah, dikutip dari Kompas.com, Minggu (16/5/2021). Pada 1897, bangsa Yahudi ingin kembali ke wilayah Palestina. Alasannya, tanah itu telah dijanjikan oleh Tuhan mereka. Klaim agama itu kemudian didukung Inggris melalui Deklarasi Balfour pada 1917 dengan mengizinkan wilayah Palestina menjadi national home bagi bangsa Yahudi. “Jadi kalau ada orang bilang konflik ini tidak ada kaitannya dengan agama, saya tidak setuju. Karena orang Yahudi klaimnya atas dasar agama bahwa Palestina itu wilayah yang dijanjikan untuk mereka,” jelas dia.
Ia menjelaskan, penduduk asli Palestina dulunya adalah bangsa Falistin yang berasal dari wilayah dekat Yunani dan telah mendiami wilayah itu selama ribuan tahun. Ketika Islam disebarkan ke wilayah itu, kemudian terjadi proses arabisasi dan islamisasi, sehingga dinamakan Arab Palestina. “Jadi selama ribuan tahun bangsa Falistin ini mendiami wilayah Palestina. Namanya saja Palestina, dulunya Kan’an, kemudian berubah menjadi wilayah Palestina,” katanya lagi.
2. Hukum internasional yang dilanggar
Sejauh ini, Israel diketahui belum diakui sebagai negara oleh PBB. Pasalnya, Israel tidak mau menaati Resolusi PBB 242 dan 338 yang mengharuskan mereka keluar dari wilayah pendudukan di Gaza, West Bank, dan dataran tinggi Golan. “Jadi Israel ini tidak mentaati tentang negara di masa modern, tapi didukung amerika yg menawarkan konsep-konsep politik modern, seperti kedaulatan dan perbatasan,” kata dia.
Akan tetapi, dukungan negara superpower seperti Amerika Serikat membuat mereka merasa aman, meski terus mencaplok wilayah Palestina. Sebab, semua konflik di dunia ini tergantung pada political will dari negara superpower. Jika negara itu membiarkan, maka konflik akan terus berjalan. “Tidak ada ketaatan-ketaatan pada kesepakatan hukum dan hubungan internasional. Itu dilanggar semua. Jadi bagaimana mau menyelesaikannya?” tutur dia. “Oke dengan perundingan. Perundingan juga ditengahi AS, syarat penengah itu kan harus netral, tapi dia pro Israel,” sambungnya.
3. Minimnya dukungan Liga Arab
Selain kedua hal di atas, dukungan dari Liga Arab dinilainya juga minim. Terlebih masing-masing mempunyai kepentingan, sehingga membuat mereka terpecah. Misalnya Mesir yang terobsesi dengan Jalur Gaza dan Sinai tetap menjadi miliknya. “Yordania menghendaki West Bank miliknya. Jadi negara Arab yang tidak bersatu itu menyulitkan penyelesaian konflik,” kata dia. Baca juga: Menilik Akar Konflik Palestina-Israel Selain kepentingan, Liga Arab sudah banyak menghadapi konflik internal yang terjadi di setiap anggotanya. Misalnya, Arab Saudi dengan Yaman dan Suriah yang menyelesaikan perang saudara berkepanjangan. Sementara itu, Uni Emirat Arab dan Bahrain secara resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Israel belum lama ini. “Liga Arab penuh masalah, tidak bisa kita harapkan menyelsaikan masalah Palestina ini,” pungkas dia.
Sumber : Kompas.com