Damail Hari Lubis-Aktivis Mujahid 212
Beberapa pengamat hukum memprediksi bahwa setelah lengser, Jokowi akan menghadapi banyak tuntutan hukum terkait dugaan pelanggaran yang dilakukannya. Jokowi tentu menyadari berbagai tuduhan yang telah diajukan kepadanya, termasuk tuduhan publik terkait pemalsuan ijazah yang ia gunakan untuk menipu tiga lembaga: KPU Daerah Surakarta, KPU Daerah Jakarta, dan KPU Pusat. Pemalsuan ini diduga telah menghasilkan serangkaian dokumen palsu, baik yang autentik maupun yang dibuat secara bawah tangan, termasuk dokumen resmi berlogo Garuda. Semua ini berawal dari jabatan yang diraihnya dengan persyaratan palsu. Fenomena stagnasi proses hukum yang melibatkan KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri terhadap kolega-koleganya seperti Airlangga dan Muhaimin beserta anak-anaknya diduga merupakan upaya obstruksi Jokowi.
Jokowi juga menyadari bahwa ia akan dihadapkan pada beban tanggung jawab moral dan hukum, terutama terkait sektor keuangan, seperti alokasi anggaran untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang mangkrak, serta penggunaan anggaran penanganan Covid-19 yang mencapai Rp695,2 triliun.
Karakter Jokowi yang dikenal sebagai “pembohong, munafik, kejam, dan licik” juga menonjolkan sifatnya yang tidak tahu malu dan gemar berpura-pura. Salah satu contoh adalah upayanya memindahkan ibu kota negara dari Jakarta secara tiba-tiba, yang tidak pernah dijanjikan dalam kampanye Pilpres 2014. Jokowi sempat mempublikasikan bahwa banyak investor asing akan membantu pembangunan IKN. Dia bahkan mengejek Istana tempatnya bekerja, dengan menyebutnya seperti peninggalan kolonial. Jokowi dengan percaya diri menyatakan bahwa IKN akan resmi pindah pada Oktober 2024, namun kemudian dengan mudah mengubah pernyataannya, “mungkin 15 atau 20 tahun lagi.” Namun, Jokowi mengatakan bahwa ASN akan lebih dahulu pindah pada September/Oktober 2024.
Ketika ditanyakan tentang realisasi kepindahan ASN, Jokowi terlihat kembali berpura-pura seolah-olah masyarakat yang mendesaknya untuk segera memindahkan ASN ke IKN. Ketika ditanya lebih lanjut, ia berkata, “Belum bisa pindah, tinggalnya di mana, air untuk mandi dan mencuci dari mana, anak-anak sekolah di mana, tempat bermain anak-anak di mana.”
Akhirnya, janji Jokowi terkait IKN dan banyak janji politiknya selama satu dekade tampak sekadar kebohongan belaka — janji palsu tanpa realisasi.
Lalu, bagaimana nasib Jokowi setelah lengser? Saat ini saja, Jokowi sudah menjadi sasaran kritik dan hinaan dari banyak orang. Tudingan publik bahwa Jokowi memalsukan ijazah S-1 semakin memperparah situasi, sementara pihak lain justru dipenjara karenanya.
Meski begitu, Jokowi dikenal memiliki mental yang kuat dan tidak kenal malu. Walaupun visinya dinilai “abnormal” dan moralitasnya diragukan, Jokowi tetap bertahan dalam politik dan kekuasaannya. Hal ini berkat dukungan dari beberapa ketua umum partai, yang melalui jalur legislatif memperlemah fungsi kontrol terhadapnya. Akibatnya, Jokowi leluasa melakukan diskresi-diskresi yang menyimpang.
Ambisi Jokowi mirip dengan pemimpin fasis dan otoriter, yang ingin dikenang melalui jejak keangkuhan seperti prasasti, patung dirinya, dan proyek-proyek besar yang sebenarnya bukan prioritas utama bagi kesejahteraan bangsa.
Menghindari proses hukum dan tanggung jawab moral pasca-lengser, apakah mungkin Jokowi akan mengambil jalan pintas? Bisa jadi, dia akan menggunakan taktik berpura-pura mengalami gangguan jiwa (ODGJ) sebagai cara untuk melarikan diri, sesuai dengan UU RI No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan Pasal 44 KUHP. Jika demikian, apakah keluarganya juga akan turut terkena dampaknya? Apakah mereka akan mendekam bersama-sama dalam satu sel?