Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Ketika Mahfud MD menjabat sebagai Menkopolhukam pada periode 2019-2024, ia tidak hanya sibuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, tetapi juga sering terlihat membela kebijakan Presiden Jokowi. Tindakan ini bahkan membuat Mahfud berani menyatakan bahwa “demi kepentingan rakyat, negara boleh melanggar konstitusi.” Pernyataan ini menuai protes keras dari berbagai tokoh bangsa, termasuk Said Didu.
Track record Mahfud MD menunjukkan sikap seorang menteri yang lebih setia kepada Presiden Jokowi daripada kepada hukum dan aturan yang berlaku. Di mata sebagian publik, tindakan dan pernyataan Mahfud membuatnya dicap sebagai sosok yang cacat sejarah.
Contoh perilaku Mahfud yang menunjukkan kurangnya empati adalah dalam tragedi pembunuhan tanpa proses hukum di KM 50. Mahfud juga mengeluarkan pernyataan yang kontroversial mengenai perilaku aparat terhadap tokoh ulama yang dipenjara hanya karena tuduhan pelanggaran protokol kesehatan COVID-19, dengan hukuman yang lebih berat dibandingkan beberapa kasus korupsi besar.
Sebaliknya, Mahfud diam terhadap kebohongan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dan Luhut Binsar Pandjaitan mengenai big data 110 juta orang yang mendukung penundaan pemilu dan masa jabatan tiga periode. Tindakan ini jelas melanggar UUD 1945 dan memicu unjuk rasa yang menimbulkan korban, termasuk dosen UI, Ade Armando, yang terluka parah.
Sebagai Menkopolhukam dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, publik berharap Mahfud bisa menyadarkan Presiden Jokowi untuk tidak memimpin dengan cara yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. Namun, harapan itu sirna karena Mahfud lebih memilih untuk tetap setia kepada Presiden Jokowi daripada kepada rakyat dan hukum.
Pada akhirnya, publik berharap Mahfud bisa bertindak demi kepentingan semua orang (non sibi sed omnibus) meskipun berisiko kehilangan jabatannya. Jika Mahfud berani mengambil langkah ini, dia mungkin akan mendapatkan gelar sebagai pendekar hukum.
Namun, kenyataannya berbeda. Mahfud justru menyatakan bahwa capres 2024 berbahaya jika tidak mendukung IKN. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya untuk mencalonkan diri dalam Pilpres 2024, Mahfud tiba-tiba berubah menjadi kritikus pemerintah, khususnya dalam hal anggaran pembangunan IKN.
Pertanyaannya, apakah Mahfud melakukan ini karena sakit hati atau karena terkena sindrom kekuasaan? Jika ada pihak yang mengklaim Mahfud sebagai sosok tegas dan konsisten dalam penegakan hukum, maka sejarah hukum akan menentang klaim tersebut berdasarkan banyak data empirik yang ada.