Mengungkap kedzaliman adalah bagian dari sunatullah, atau hukum alam yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Hal ini bukanlah tindakan yang didorong oleh kebencian atau perasaan bersalah, melainkan sebuah kewajiban moral yang mendasar untuk mengingatkan manusia akan akibat dari tindakan yang menyalahi kebenaran. Bahkan, dalam Al-Qur’an, kisah tokoh-tokoh zalim seperti Abu Lahab, Jahal, dan Firaun diabadikan bukan untuk menciptakan kebencian, tetapi sebagai pelajaran abadi bagi umat manusia tentang bahaya kesombongan, penindasan, dan pelanggaran atas keadilan.
Kedzaliman dalam Al-Qur’an: Abu Lahab, Jahal, dan Firaun
Al-Qur’an secara konsisten memberikan contoh-contoh tokoh yang menjadi simbol kedzaliman. Salah satu yang paling terkenal adalah Abu Lahab, paman Nabi Muhammad, yang namanya disebut secara eksplisit dalam Surat Al-Lahab. Abu Lahab menentang dakwah Rasulullah dan berusaha menghalangi perkembangan Islam dengan segala cara. Kedengkiannya yang mendalam terhadap keadilan dan kebenaran membuatnya diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai simbol orang yang dihukum akibat kedzalimannya. Tindakannya bukan sekadar ketidaksetujuan, tetapi penindasan dan penganiayaan terhadap mereka yang mengikuti kebenaran.
Lalu, ada sosok Firaun, yang merupakan lambang kediktatoran dan penindasan yang paling dikenal dalam sejarah. Firaun, dengan kesombongannya, mengklaim dirinya sebagai dewa dan menolak segala bentuk kebenaran yang dibawa Nabi Musa. Ia memperbudak bangsa Israel dan menolak tanda-tanda kebesaran Tuhan. Allah mengabadikan kisahnya sebagai peringatan bahwa tidak ada kekuatan di bumi, seberapa besar pun, yang dapat melawan keadilan Tuhan.
Kisah-kisah ini tidak hanya ada di dalam Al-Qur’an, tetapi juga dalam kitab-kitab suci lainnya, menunjukkan bahwa kedzaliman bukanlah fenomena yang baru, melainkan bagian dari sejarah manusia yang berulang.
Kedzaliman dalam Agama-Agama Lain
Dalam tradisi Kristen, kita mengenal sosok Raja Herodes yang memerintahkan pembantaian anak-anak Betlehem dalam upaya membunuh Yesus yang masih bayi. Herodes adalah contoh penguasa zalim yang membiarkan ketakutannya terhadap kehilangan kekuasaan mengatasi nuraninya. Kisah ini, yang diceritakan dalam Injil Matius, menunjukkan bagaimana ketakutan dan keserakahan sering kali menjadi akar dari tindakan kedzaliman.
Dalam ajaran Hindu, tokoh-tokoh seperti Ravana dalam epik Ramayana adalah simbol dari keserakahan dan kedzaliman. Ravana, yang menculik Sita, istri Rama, digambarkan sebagai raja yang meskipun sangat kuat dan cerdas, gagal mengendalikan hawa nafsunya. Kedzalimannya membawa kehancuran bagi dirinya dan kerajaannya. Ravana bukan hanya seorang penculik, tetapi lambang dari kekuasaan yang korup dan penyalahgunaan kekuatan.
Demikian pula, dalam tradisi Buddha, Raja Ajatasattu adalah contoh penguasa zalim. Didorong oleh ambisi, ia membunuh ayahnya sendiri, Raja Bimbisara, untuk merebut takhta. Namun, meskipun mencapai kekuasaan, ia tidak bisa lari dari perasaan bersalah dan akhirnya mencari bimbingan dari Sang Buddha. Kisah Ajatasattu menyoroti bagaimana kedzaliman sering kali berasal dari ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan ambisi dan ego mereka.
Kedzaliman: Ujian Bagi Keadilan
Sejarah agama-agama dunia penuh dengan contoh-contoh tokoh zalim yang menunjukkan bahwa kedzaliman adalah ujian besar bagi kemanusiaan. Penguasa yang menindas, pemimpin yang korup, atau siapa pun yang menggunakan kekuasaannya untuk menyakiti orang lain akan selalu dikenang sebagai peringatan bagi generasi berikutnya.
Dalam setiap kasus, kedzaliman selalu menuntut tanggung jawab dari mereka yang menyaksikannya. Mengungkap kedzaliman adalah kewajiban yang harus dipenuhi, bukan atas dasar kebencian, tetapi untuk memastikan bahwa kebenaran tidak terkubur oleh ketidakadilan.
Dengan mengungkap kedzaliman, kita bukan hanya menegakkan keadilan tetapi juga mengikuti sunatullah yang telah dicontohkan oleh para nabi dan tokoh-tokoh agung dalam sejarah manusia. Setiap agama besar mengajarkan bahwa kezaliman harus dihadapi, diungkap, dan ditentang, agar keadilan dapat ditegakkan dan masyarakat bisa hidup dalam kedamaian.
Pada akhirnya, pengabdian terhadap kebenaran dan keadilan adalah bagian dari perjalanan spiritual manusia. Tokoh-tokoh zalim yang diabadikan dalam kitab suci tidaklah dimaksudkan untuk dibenci, melainkan untuk dijadikan cermin bagi diri kita sendiri—agar kita tidak terjebak dalam perangkap kedzaliman yang sama.