Oleh Prihandoyo Kuswanto-Ketua Pusat Studi dan Kajian Rumah Panca Sila.
Jakarta kembali dilanda banjir. Pada era kepemimpinan Anies Baswedan, salah satu solusi yang diterapkan adalah pembangunan sumur resapan yang diadopsi dari Yogyakarta. Konsep ini mungkin cocok untuk Yogyakarta, yang memiliki muka air tanah lebih dalam, tetapi apakah efektif diterapkan di Jakarta?
Kenyataannya, banjir tetap terjadi. Dari dulu, solusi yang ditawarkan selalu sama: normalisasi sungai, pembangunan embung di Bogor, tetapi implementasinya tidak pernah serius.
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah: apakah reklamasi pantai Jakarta turut berkontribusi terhadap meluasnya banjir di ibu kota?
Faktor reklamasi pesisir Jakarta tampaknya luput dari perhatian. Tidak ada keberanian untuk menyoroti dampaknya, termasuk proyek reklamasi seperti PIK 1, PIK 2, serta pulau-pulau buatan A, B, C, D, F, G, dan seterusnya. Berapa luas lahan yang telah diuruk untuk proyek-proyek tersebut? Apakah ada analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang transparan untuk menjelaskan akibat yang ditimbulkan? Berapa banyak biota laut yang musnah akibat proyek-proyek ini? Deformasi pesisir pantai Jakarta jelas terjadi, seolah disengaja untuk mempercepat tenggelamnya kota ini, demi memuluskan agenda pemindahan ibu kota ke IKN. Inilah mental penjajah yang sesungguhnya.
Kerusakan pesisir Jakarta tidak hanya merugikan nelayan seperti Pak Kholid, tetapi juga seluruh warga Jakarta yang terdampak banjir. Berapa banyak harta benda yang rusak akibat banjir? Sayangnya, alih-alih berpihak kepada rakyat, aparat justru bertindak represif. Seperti yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia, kepentingan investor lebih diutamakan dibanding kesejahteraan rakyat. Perampasan tanah di Rempang, konflik lahan perkebunan sawit, hingga penindasan terhadap pedagang kaki lima menjadi bukti bahwa mental penjajah masih mengakar kuat.
Di kota-kota besar, pedagang kaki lima sering menjadi korban “obrakan”—penggusuran paksa yang dilakukan tanpa belas kasihan. Barang dagangan mereka dihancurkan, menyebabkan kerugian yang berujung pada kesulitan bertahan hidup. Aparat hanya berani menindak rakyat kecil, sementara proyek reklamasi dan perampasan tanah terus dibiarkan.
Mental penjajah ini semakin menguat sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002. Sistem liberal kapitalis menjadikan demokrasi sekadar permainan jumlah suara, di mana yang paling kaya mampu membeli kekuasaan, kebijakan, bahkan hukum. Laut bisa diberi status Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM), hutan pun dapat diperjualbelikan.
Dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri 2025 di The Tribrata, Jakarta, Presiden Prabowo Subianto menekankan pentingnya peran TNI dan Polri dalam menjaga eksistensi dan kedaulatan negara. Namun, untuk benar-benar menegakkan kedaulatan, Polri harus berani membersihkan diri, termasuk mengaudit dan membongkar Satgas Merah Putih pimpinan Ferdy Sambo yang hingga kini masih menyisakan tanda tanya besar terkait kasus-kasus narkoba, judi online, dan tragedi KM50.
Sumpah jabatan dari Presiden hingga aparat negara mengamanatkan perlindungan bagi segenap rakyat Indonesia. Negara ini didirikan untuk menghapus penjajahan dalam segala bentuknya, bukan justru melanggengkan ketidakadilan. Aparat seharusnya berperan dalam memastikan kemerdekaan rakyat, menjaga tanah dan usaha mereka, bukan menjadi alat intimidasi dan perampasan.
Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, negara diperintahkan untuk melindungi rakyat, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam ketertiban dunia berdasarkan keadilan sosial. Oleh karena itu, penyelesaian masalah reklamasi dan pertanahan harus menjadi prioritas nasional.
Diperlukan badan penegak ketertiban seperti Kopkamtib yang melibatkan berbagai lembaga dan kementerian untuk mengaudit reklamasi, pertanahan, pertambangan, serta izin tenaga kerja asing. Selain itu, pengaktifan kembali sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (SISHANKAMRATA) dapat membantu menertibkan keberadaan imigran ilegal yang jumlahnya sudah mencapai 20 juta orang. Tanpa keterlibatan masyarakat dan persatuan bangsa, tatanan kehidupan akan terus rusak.
Indonesia harus kembali kepada UUD 1945 dan Pancasila untuk menyelamatkan negeri ini. Presiden perlu menerapkan kewaspadaan nasional agar Indonesia tetap berdaulat dan tidak jatuh ke tangan para kapitalis yang hanya mengejar keuntungan pribadi tanpa memperhitungkan kesejahteraan rakyat.