OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Proses penyerapan gabah hasil panen petani oleh Perum Bulog dan Penggilingan Padi saat ini, tampak berbeda dengan proses penyerapan-penyerapan sebelumnya. Lahirnya Keputusan Badan Pangan Nasional No. 14/2025 yang mencabut Lampiran Keputusan Badan Pangan Nasional No. 2/2025, menjadi tanda dimulainya semangat baru dalam proses penyerapan gabah hasil petani.
Lampiran yang berisikan persyaratan pembelian gabah kering panen di petani dan gabah kering giling di penggilingan, praktis tidak berlaku lagi. Persyaratan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah sebesar Rp. 6500,- dengan ketentuan kadar air maksimal 25 % dan kadar hampa maksimal 10 %, kini tidak berlaku lagi. Berapa pun kadar air dan kadar hampa gabah yang dihasilkan petani, Perum Bulog dan Penggilingan wajib menyerapnya dengan harga Rp. 6500,- per kilogram.
Sekedar mengingatkan bagaimana persyaratan pembelian gabah diatur, ada baiknya kita cermati di bawah ini :
A. GKP di tingkat petani
1. GKP di luar kualitas 1 di tingkat petani dengan kadar air maksimal 25%, kadar hampa 11-15%, dikenakan rafaksi (pemotongan/ pengurangan harga) Rp300 sehingga HPP berlaku adalah Rp6.200 per kg
2. GKP di luar kualitas 2 dengan kadar air maksimal 26-30% dan kadar hampa maksimal 10%, dikenakan rafaksi Rp425, sehingga HPP-nya jadi Rp6.075 per kg.
3. GKP di luar kualitas 3 dengan kadar air 26-30% dan kadar hampa 11-15%, kena rafaksi Rp750, sehingga HPP berlaku Rp5.750 per kg
B. GKP di tingkat penggilingan
1. GKP di luar kualitas 1 dengan kadar air maksimal 25%, kadar hampa 10-15%, dikenakan rafaksi Rp300, sehingga HPP-nya jadi Rp6.400 per kg
2. GKP di luar kualitas 2 dengan kadar air 26-30% dan kadar hampa maksimal 10%, kena rafaksi Rp425, sehingga HPP-nya jadi Rp6.275 per kg
3. GKP di luar kualitas 3 dengan kadar air 26-30% dan kadar hampa 11-15%, dikenakan rafaksi Rp750, sehingga HPP berlaku adalah Rp5.950 per kg.
Aturan dan ketentuan ini, sekarang tidak berlaku lagi. Pemerintah sendiri, kini telah melahirkan aturan “satu harga” gabah. Seiring dengan tekad Pemerintah menyerap gabah hasil panen sebanyak-banyaknya, kebijakan yang ditempuh, berapa pun kadar air dan kadar hampa yang melekat pada gabah petani, Perum Bulog dan Penggilingan Padi berkewajiban membeli gabah petani pada harga Rp. 6500,-.
Bagi sebagian besar petani, dengan terbitnya aturan baru ini, cenderung akan disambut dengan rasa riang dan senang hati. Bukan saja hal ini dapat menghilangkan rasa was-was petani atas fenomena turunnya harga gabah ketika panen raya tiba, juga akan “membebaskan” petani dari perilaku oknum-oknum yang doyan memainkan harga di tingkat petani.
Hal ini wajar terjadi, karena dengan aturan yang diterapkan selama ini, untuk mendapatkan HPP Gabah seharga yang diumumkan Pemerintah, petani harus mampu menghasilkan gabah kering panen berkadar air maksimal 25 % dan kadar hampa maksimal 10 %. Syarat ini umumnya tidak bisa dipenuhi oleh para petani. Akibatnya, terjadilah fenomena anjloknya harga gabah saat panen raya tiba.
Namun begitu, bagi Perum Bulog, aturan baru ini, tentu akan melahirkan masalah serius dalam penyimpanan gabah yang diserap. Dengan kualitas gabah yang beragam kadar air dan kadar hampa, bahkan dapat dipastikan tidak akan seperti yang diharapkan, membuat kerja tambahan dalam proses penyimpanannya nanti. Belum lagi soal ketersediaan gudang yang terbatas.
Lebih menjelimet, bila panen raya sekarang, berbarengan wajtunya dengan terjadi nya musim hujan. Dengan keterbatasan nya, petani akan sulit mengeringkan gabah hasil panennya, mengingat sinar mentari yang tak kunjung muncul. Di lain pihak, alat pengering gabah, sangat minim dimiliki petani. Resikonya, gabah basah akan mencirikan panen padi di musim hujan. Gabah basah pun tak bisa dihindari.
Yang repot ya Perum Bulog dan Penggilingan. Selain harus menyerap gabah berkadar air tinggi, ternyata proses penyimpanan yang ditempuh, membutuhkan perlakuan khusus dalam pelaksanaannya. Dihadapkan pada kondisi seperti ini, jika aturan penyerapan ini masih akan diterapkan, maka tugas kita bersama adalah mengajak para petani untuk dapat menghasilkan gabah berkualitas baik.
Untuk mewujudkan keinginan semacam ini, tidak bisa tidak, Kementerian Pertanian perlu kerja keras untuk memacu kinerja para Penyuluh Pertanian agar lebih serius dalam melaksanakan kegiatan Penyuluhan Pertaniannya. Tugas Penyuluh Pertanian, bukan hanya mendidik petani untuk menggenjot produksi, namun juga dituntut untuk memberi materi terkait dengan pengetahuan paska panennya.
Sinergi dan kolaborasi antara Penyuluh Pertanian dan Petugas Lapang Perum Bulog, sedini mungkin perlu dirumuskan dengan baik. Sebagai guru petani, kita berharap agar Penyuluh Pertanian dapat mengajari petani bagaimana menghasilkan gabah kering panen yang berkualitas, sehingga tidak menimbulkan masalah baru, kalau gabah itu harus disimpan dalam waktu yang cukup lama.
Tak kalah penting untuk ditempuh, ada baiknya jika Pemerintah akan menggelindingkan Bansos Alat Mesin Pertanian, tidak melulu memberi Alsintan yang berkaitan dengan upaya peningkatan produksi seperti traktor. Namun, petani pun sangat memerlukan alat pengering gabah sederhana yang dapat dioperasionalkan oleh petani sendiri. Terlebih kalau panen raya berlangsung di musim hujan.
Akhirnya ingin diutarakan, menyerap gabah petani dengan target cukup fantastis, yakni setara 3 juta ton beras, bukanlah hal yang cukup mudah untuk digarap. Banyak faktor yang harus disiapkan dengan matang. Kolaborasi antar Kementerian/Lembaga Pemerintah, jelas sangat dimintakan. Begitu pun diantara para pemangku kepentingan perlu ditempuh.
Semoga jadi pencermatan kita bersama ! (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).