Pengamat KUHP – DHL
(Ikhtisar, Sejuta Retorika dan Teori Analogi Berujung Proposal dan Laba Bersih)
Dalam dekade 2019–2024, kita menyaksikan lahirnya fenomena intelektual residu: sekelompok orang yang menjadikan meritokrasi bukan sebagai ruang untuk menumbuhkan nilai kebaikan bersama, melainkan arena egosentrisme dan egoisme. Mereka tampil dengan wajah intelektual, penuh retorika, sarat teori, bahkan lihai dalam mengolah analogi. Namun, di balik kepiawaian itu tersembunyi pola pikir yang egosentris—memandang diri (atau kelompok) sebagai pusat segala kebenaran, sekaligus egoistis—menolak berbagi ruang dengan orang lain.
Egosentris dan Egoistis: Dua Wajah, Satu Nafas
Egois adalah sikap mementingkan diri tanpa peduli pada kebutuhan orang lain, sementara egosentris adalah ketidakmampuan melihat realitas dari sudut pandang orang lain. Dua sifat ini, meski berbeda, berpadu menjadi formula yang menjelma arogansi intelektual. Mereka tidak lagi menjadi penafsir realitas, melainkan penguasa retorika. Segala teori dipaksa cocok (cocokologi) demi kepentingan diri, dan setiap kompromi dilakukan bukan demi kebersamaan, melainkan demi laba yang bisa dipetik.
Di alam filosofi Pancasila, sikap semacam ini semestinya tertolak. Namun realitas justru menunjukkan sebaliknya: mereka yang arogan, egois, dan egosentris justru lebih cepat menanjak. Sistem meritokrasi yang seharusnya menjunjung kualitas dan kontribusi publik malah berubah menjadi alat bagi mereka untuk menindas, mendominasi, dan membodohi bangsanya sendiri.
Kontradiksi Pancasila dan Realitas Meritokrasi
Meritokrasi, ketika dimasuki oleh intelektual residu, kehilangan roh keadilan sosial. Ia hanya menjadi panggung bagi para “pemenang” untuk memamerkan kesombongan, sekaligus memberi ruang bagi penghinaan terhadap mereka yang kalah. Sikap elitis dan bias yang mengemuka adalah bentuk nyata sisi buruk meritokrasi—sebuah sistem yang mestinya adil namun akhirnya memperlebar jurang ketidaksetaraan.
Lebih parah lagi, intelektual residu ini kerap mengadopsi pola pikir sekuler-liberalis: materialistik, individualistik, dan mengabaikan nilai kebersamaan. Ironisnya, di negeri yang menjunjung Pancasila, gaya hidup dan logika mereka justru laku keras. Mereka bukan saja menutup mata terhadap penderitaan rakyat, melainkan juga menjadikan kecerdasan sebagai alat memperkuat arogansi.
Dari Kecerdasan ke Kesombongan
Kesulitan mereka untuk memahami perspektif orang lain melahirkan kesalahpahaman, konflik, dan defisit empati. Bagi mereka, ide pribadilah yang paling benar, logika merekalah yang paling sahih. Tak ada ruang bagi suara yang berbeda. Akhirnya, sikap ini membentuk kultur intelektual yang kering: sukses secara duniawi, namun miskin dalam moralitas.
Mereka menolak asas zoon politicon—bahwa manusia adalah makhluk sosial. Semua pencapaian dihitung dalam kerangka keuntungan individual, bukan kesejahteraan sosial. Maka tidak heran, mereka mati dalam kekenyangan egois, atau meninggal dalam kelelahan egosentris—tidak pernah puas mengejar idealisme semu yang hanya menguntungkan diri sendiri.
Epilog: Sisi Buruk Meritokrasi
Apa yang kita saksikan pada 2019–2024 adalah wajah lain dari meritokrasi: sistem yang tidak steril dari arogansi, bias, dan manipulasi intelektual. Alih-alih membangun peradaban berbasis keadilan, meritokrasi yang disalahgunakan justru memperkokoh struktur ketidakadilan sosial.
Pada akhirnya, intelektual residu ini bukanlah motor kemajuan, melainkan residu sejarah. Mereka yang mengangkangi Pancasila dengan retorika, yang menjadikan teori sebagai kedok, dan yang menempatkan ego sebagai hukum tertinggi, akan dikenang bukan sebagai pencerah, melainkan sebagai pengabur jalan.