Kisruh soal harga dan ketersediaan minyak goreng dinilai ekonom senior Faisal Basri merupakan ulah pemerintah sendiri. Salah satu kebijakan pemerintah dituding Faisal Basri jadi biang kerok masalah minyak goreng saat ini.
Kebijakan yang dimaksud Faisal Basri membuat pergeseran besar dalam konsumsi minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) di dalam negeri. Dia menyebutkan kebijakan yang jadi biang kerok itu adalah penggunaan CPO untuk bahan bakar nabati.
Faisal mengatakan konsumsi CPO di dalam negeri yang sebelumnya didominasi oleh industri pangan, kini menjadi industri biodiesel. Lonjakan tajam terjadi sejak 2020 dengan diterapkannya Program B20 (20% kandungan CPO dalam minyak biosolar).
“Biang keladi yang bikin kisruh minyak goreng ini pemerintah karena meninabobokan pabrik biodiesel,” kata Faisal Basri dalam Gelora Talks bertajuk ‘Minyak Goreng Langka, Ada Apa?’, Rabu (16/2/2022).
Konsumsi CPO untuk biodiesel naik tajam dari 5,83 juta ton tahun 2019 jadi 7,23 juta ton tahun 2020. Di sisi lain, konsumsi CPO untuk industri pangan turun dari 9,86 juta ton pada 2019 jadi 8,42 juta ton di 2020.
Pola konsumsi CPO dalam negeri seperti itu dinilai akan terus berlanjut dan diperkirakan porsi untuk biodiesel akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan porsi CPO dalam biodiesel lewat Program B30 atau bahkan lebih tinggi lagi.
“Jadi karena wajib, konsumsinya naik, sawitnya kan tidak meningkat secepat kebutuhan biodiesel (jadi) diambil dari minyak goreng ini, industri pangan ini,” beber Faisal Basri.
Faisal menyebut pengusaha lebih cenderung menyalurkan CPO-nya ke pabrik biodiesel karena pemerintah menjamin perusahaannya tidak bakal merugi. Pasalnya ada kucuran subsidi yang berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) jika harga patokan di dalam negeri lebih rendah dari harga Internasional. Sebaliknya, jika CPO dijual ke pabrik minyak goreng, pengusaha tak mendapatkan insentif seperti itu.
“Dana BPDPKS dinikmati oleh pengusaha besar. Subsidi biofuel ini 79,04%, rakyatnya cuma dapat 4,73%. Jadi ini gila pemerintah ini, tidak ada keberpihakannya kepada rakyat,” tutur Faisal Basri.
Dia mengatakan hingga kini sudah puluhan triliun rupiah mengalir subsidi ke pabrik biodiesel dari dana sawit yang dikelola oleh BPDPKS. Setidaknya ada 22 pengusaha sawit yang disebut menikmati kebijakan ini.
“Sekarang pemerintah lebih mengedepankan buat energi, buat perut urusan belakangan. Makanya buat energi dimanja, buat perut tidak dimanja,” kata Faisal Basri.
“Jadi jangan cepat menyalahkan pengusaha juga karena pengusaha tidak dilarang untuk dapat untung, tentu saja pengusaha akan mencari bidang yang untungnya lebih banyak. Untungnya lebih banyak kalau dia jual ke biodiesel. Yang membuat seperti itu siapa? Ya pemerintah. Jadi pemerintah ini salah kelola, pemerintah yang tidak bisa memerintah,” paparnya.
Hal yang diungkap Faisal Basri sebetulnya sudah diakui sendiri oleh Menteri Perdagangan M Lutfi. Dia mengakui harga minyak goreng meroket gegara kebijakan pemerintah sendiri.
Dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Senin 31 Januari silam, dia memaparkan penyebab utama minyak goreng naik adalah kenaikan harga komoditas kelapa sawit dunia. Lutfi mengatakan ternyata Indonesia sendiri yang jadi biang kerok kenaikan harga tersebut.
Hal itu terjadi karena sebagai negara produsen kelapa sawit besar, Indonesia meluncurkan B30 alias biodiesel yang merupakan salah satu jenis bahan bakar nabati untuk kendaraan. Langkah itu menurut Lutfi membuat harga kelapa sawit yang jadi bahan baku minyak goreng melompat liar di dunia.
“Harga-harga selama 2017-2020 itu harga minyak goreng itu flat. Yang buat tinggi siapa? Yang membuat tinggi itu adalah Republik Indonesia dengan cara sebagai penghasil kelapa sawit terbesar dunia kita bikin namanya B30, harganya loncat dunia,” ungkap Lutfi.
Namun begitu, kenaikan harga sawit ini menurutnya tetap menguntungkan Indonesia. Pasalnya produk kelapa sawit menjadi ekspor terbesar kedua bagi Indonesia setelah batu bara, karena harga naik maka petani sawit ikut mendapatkan keuntungan. Di sisi lain, dengan B30 Indonesia punya alternatif energi.
“Tapi ini tetap adalah policy yang untungkan orang Indonesia. Ekspor CPO kita 2021 itu US$ 32,83 miliar, secara agregat ekonomi bagus sekali,” ungkap Lutfi.
Sumber : Detik.com