Ini bukan olok-olok, tetapi realita. Pernah terjadi. Jokowi menanyakan kepada LBP, “kapan PPKM itu akan berkahir?”. Kita terbengong-bengong, sebenarnya siapa sich di Negeri ini si Pengambil Keputusan? Pimpinan tertinggi,kah? Atau anak buahnya?
NEGARA INI TERBALIK-BALIK ANEH SENDIRI
Yang terkahir, soal himbauan Prokes. Berkali-kali Jokowi ditemui kehadirannya mengundang kerumunan yang sangat besar. Saat di NTT dulu. Dan baru-baru ini, di SuMut, padahal sedang gencar-gencarnya serangan omicron. Seperti biasa, seperti disengajakan, pada kerumunan masa itu, Jokowi melempar-lempar oleh-olehnya, kepada rakyat yang meng-elu2kannya. Bikin repot paspampres juga.
Pada kasus lain, Jokowi dengan semangat dan tegas pernah memerintahkan kepada Menteri-menternya, “stop export batu bara”. Gemuruh anak negeri terdengar seantero negeri. Presiden yang hebat, teriaknya. Lalu atmosmir nusantara, penuh dengan berbagai macam puja puji dan alasan-alasan yang menyertai akibat dari orientasi batu bara untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Eh..dalam itungan jari per hari, sekejap saja, lagi-lagi LBP menjelaskan “kita akan teruskan export lagi”, karena diprotest oleh negara-negara buyers. Padahal stop exporting belum dilaksanakan.
Berpindah ke kasus yang lain. Misalnya dalam system politik kita. Aneh bin ajaib juga. Judul legalitasnya menganut “system Presdential”, tetapi prakteknya menganut ”system parlementer”. Berbeda. Yang dipilih orang per orang, tetapi wakil di Dewan ada fraksi-fraksi perwakilan Parta-partai. Koalisi dan Opisisi hanya ditemui pada system parlementer, tapi di praktekan dalam system presidential ala Republik Indonesia. K a c a u.
UU yang disyahkan oleh DPR RI, bila tidak disetujui oleh Presiden, akan berlaku sercara otomatis pada hari ke 30. Dan sebaliknya, Presiden bisa membatalkan UU produk DPR RI dengan mengeluarkan PERPPU. Ini tarung kekuatan nyata yang legitimate antara Legislative vs Executive.
Sebelum lanjut. Break dulu dengan ini ; “system ini bisa mengubah malaikat menjadi”, menurut pakar hukum ketata negaraa, Mahfud MD. Awalnya serasa mustahil, tapi ternyata benar adanya.
Keanehan-keanehan itu bak jamur di musim penghujan. Merambah keberbagai aktifitas kehidupan, bahkan di masyarakat.
Lahir komunitas Buzzers, yang tugas-tugasnya “ad hominem” kepada setiap orang yang bersebrangan dengan Pemerintah. Strategi Pemerintah, bocor diumbar oleh mereka.
Berbabagi kebijakan Executive, sering kali dijelaskan oleh Arteria Dahlan dan Aria Bimo, seperti sebagai Jubirnya executive. Siapa yang mengontrol dan di control, menjadi absurd. Tak terlihat lagi lini yang memisahkan antar keduanya. Persis seperti system pemerintahan satu partai China. Supaya tidak menyinggung, saya tidak menggunakan istilah system komunisme.
Ketika Indonesia menganut system Parlementer, pada jaman Orla dan Orba, artinya rakyat memilih partai politik pada setiap pemilu. Apa yang terjadi? Di Jaman Orla, terjadi hal yang aneh, saat pelaksanaan Pemilu 1955. Dari sekian peserta Partai Politik Pemilu tersebut, ada diikuti oleh peserta no. 28, yaitu peserta non partai alias perorangan. Ia adalah R. Soedjono Prawirisoedarso dan berhasil duduk sebagai anggota konstituante.
Pada era Orde Baru, Presiden Suhartolah yang mengklaim, “melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara Murni dan Konsekuen”. Apa yang terjadi? Partai pemenang pemilu, selama 6 kali, Golkar, tidak otomatis menempatkan ketua Umumnya menjadi Presiden/Perdana menteri. Karena Presiden harus dipilih pada sidang Umum MPR RI. Lazimnya (fatsoen system parlementer), partai pemenang pemilu otomatis menjadi Pemimpin pemerintahan. Akhirnya kejadian Gusdur yang datang dari partai kecil, PKB, berhasil dipilih menjadi Presiden RI. Walau kemudian di jatuhkan kembali oleh pemilihnya!. Presiden Habibi ditolak laporan pertanggung jawabannya oleh Partainya sendiri, sehingga tidak bisa mencalonkan kembali sebagai Presiden.
Pada era reformasi, system politik sudah berganti dari system parlementer ke system presidential. Disini lebih banyak lagi hal yang aneh. Calon Presiden boleh koalisi antar dua partai. Akhirnya ketika berhasil menjadi Presiden dan wakilnya, menjelang pemilu berikutnya, dua-duanya bersaing untuk berebut kursi Presiden. Terjadi pada waktu Megawati dan hamzah Haz, pemilu 2004. dan SBY-JK pada waktu pemilu 2009.
Di DPR terjadi koalisi Partai-partai pendukung SBY dan oposisi kepada the ruling Party. Hal ini hanya lazim terjadi dalam system Parlementer. Didalam system Presidential Rakyat tidak memilih partai, melainkan nama perorangan, tetapi di DPR terbentuk fraksi-fraksi parpol.