fusilatNews – Di negeri ini, langit selalu dipenuhi gema doa. Dari mushola kecil di gang sempit hingga mimbar-mimbar megah yang disorot kamera. Ayat-ayat suci mengalun tanpa henti, dari corong masjid, dari bibir para ustaz, dari layar kaca, dari sela-sela pesan WhatsApp. Iman seolah menjadi jubah yang dikenakan dengan bangga, dikenakan di dada, dipajang di dinding-dinding rumah, dikumandangkan dalam janji kampanye.
Namun, di balik syahdu suara pengajian, di belakang punggung yang menunduk dalam sujud panjang, ada tangan-tangan yang lihai menggunting anggaran, membubuhkan tanda tangan palsu, menjual keadilan kepada mereka yang mampu membayar lebih. Mereka berwudhu sebelum mencuri, berdoa sebelum menipu, beristighfar sebelum menindas.
Di jalanan, ormas-ormas berbendera suci memekikkan takbir, berteriak tentang moral dan kesucian, namun di balik layar, mereka menodongkan senjata, mengintimidasi, memperdagangkan perlindungan. Negeri ini menegakkan aturan-aturan langit, tapi menginjak hukum dengan tumit berlumpur.
Inilah paradoks negeri dengan sila pertama yang diagungkan. “Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata mereka. Tapi Tuhan seperti hanya tinggal dalam spanduk dan baliho. Iman ditakar dengan simbol, kesalehan diukur dengan jumlah pengajian yang dihadiri, bukan dengan kejujuran, bukan dengan keadilan.
Negeri ini bukan sekadar sakit. Ia menjadi panggung sandiwara, di mana agama adalah kostum, bukan nurani. Dakwah berjalan beriringan dengan korupsi, ritual dipentaskan, tapi moral tenggelam.
Apakah ini kebutaan? Atau hanya kebiasaan? Sebuah hipokrisi yang diwariskan turun-temurun, seperti doa yang terus diulang tanpa direnungi maknanya.
Mungkin ini bukan lagi negeri berketuhanan, melainkan negeri yang memperdagangkan Tuhan.