Oleh Damai Hari Lubis, Kepala Bidang Hukum & HAM DPP KWRI (Komite Wartawan Reformasi Indonesia) dan Sekretaris Dewan Kehormatan DPP KAI (Kongres Advokat Indonesia)
Adalah wajar jika Koordinator Apel Akbar “Bela Jokowi Sampai Mati,” Sukodigdo, diduga sebagai “orang dekat” atau pendukung fanatik Jokowi. Hal ini terlihat dari narasi pernyataannya yang secara terang-terangan menyampaikan kritik negatif terhadap partai tempat Jokowi pernah bernaung, PDIP, yang merupakan fakta umum di kalangan publik. Jokowi dituding berkhianat setelah diusung dan berhasil mencapai jabatan Presiden RI selama dua periode, 2014-2019 dan 2019-2024, sesuai batasan konstitusi.
Alasan Sukodigdo yang menyatakan:
1. Akan menurunkan 20 ribu pasukan berani mati dari seluruh wilayah RI.
2. Telah mengantongi izin dari pihak aparat terkait agenda apel akbar.
3. Apel akbar digelar karena adanya situasi yang tidak kondusif yang disebabkan oleh orang-orang terdekat Jokowi yang ingin memperburuk keadaan bangsa.
4. Orang-orang terdekat Jokowi merasa sakit hati karena kalah di Pilpres 2024 dan terus memprovokasi rakyat.
Secara hukum, pernyataan Sukodigdo ini bersifat subjektif dan tidak didukung oleh data empiris. Substansi permasalahan sebenarnya adalah urusan internal partai yang melibatkan eks anggota partai (Jokowi dan Gibran) dengan PDIP.
Kehadiran apel akbar ini dikhawatirkan dapat memprovokasi masyarakat akibat adanya konflik kepentingan. Jika agenda ini terus dilanjutkan, dikhawatirkan situasi bisa menjadi semakin memanas, memicu pro-kontra baik di dalam partai maupun di kalangan masyarakat umum, hingga menimbulkan risiko tinggi terjadinya kekacauan (chaos) di negara ini.
Jika kekacauan benar-benar terjadi, situasi ini dapat memberikan alasan bagi Jokowi untuk menetapkan keadaan darurat, yang dapat menggagalkan pelantikan Prabowo sebagai Presiden RI pada 20 Oktober 2024.
Lebih jauh lagi, mengingat sejarah politik dan hukum di Indonesia, Jokowi tidak pernah melarang wacana pembangkangan konstitusi yang didorong oleh beberapa anggota kabinetnya, termasuk menteri yang juga merupakan ketua umum partai politik seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Airlangga Hartarto, dan Muhaimin Iskandar, serta pimpinan legislatif seperti Ketua DPD RI LaNyalla Mattalitti dan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Wacana ini terkait dengan gagasan “penundaan pemilu 2024,” yang dapat berimplikasi pada Jokowi menjabat sebagai presiden untuk tiga periode.
Ketegasan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP dalam menolak gagasan ini semakin mempertegas bahwa Jokowi tidak bisa menjabat lebih dari dua kali. Namun, kekhawatiran akan gangguan keamanan dan ketertiban akibat apel akbar tersebut memerlukan tindakan proaktif dari Jokowi sebagai kepala negara. Jokowi harus mengantisipasi dampak tersebut sesuai hukum yang berlaku dengan menjaga prinsip-prinsip keutuhan nasional, ketimbang menggunakan retorika politik yang ambigu dan tidak konsisten.
Jokowi perlu menunjukkan kebijakan yang tegas dan simpatik dengan langkah-langkah berikut:
1. Memerintahkan Kapolri untuk mencabut izin keramaian yang sudah dikeluarkan untuk apel akbar tersebut.
2. Melarang secara tegas penyelenggaraan apel akbar dan mengimbau massa pendukungnya agar tidak datang ke Jakarta.
3. Menginstruksikan TNI dan Polri untuk mengambil tindakan tegas jika massa tetap berdatangan.
Jika Jokowi tidak mengambil langkah-langkah ini, maka akan muncul interpretasi publik bahwa ia berada di balik agenda apel akbar tersebut, dengan tujuan politik untuk memperpanjang jabatannya menjadi tiga periode, meskipun ada penolakan dari Megawati Soekarnoputri, putri Presiden pertama RI, Ir. Soekarno.
Apabila apel akbar ini berujung pada kekacauan yang memicu revolusi sosial, dan mengakibatkan kerugian besar baik material maupun imaterial, maka beban tanggung jawab politik dan hukum harus ditanggung oleh Jokowi, Kapolri, dan pejabat publik lainnya yang terlibat.
Menhan, yang diharapkan akan dilantik menjadi Presiden RI, harus bersikap tegas dan tidak hanya menjadi penonton dari tindakan yang dapat mengancam kursi kepresidenannya pada 20 Oktober 2024.
Apakah ini adalah bagian dari skenario konspirasi oleh aktor dalam dan luar negeri? Ataukah ini sekadar fenomena tendensius dari pihak-pihak yang mengaku sebagai pendukung Jokowi? Semua ini memerlukan pengamatan dan tindakan tegas untuk memastikan keamanan dan stabilitas negara.