”Kami melihat, apa yang disampaikan Presiden semakin memperkeruh situasi politik karena walaupun berdasarkan Undang-Undang tentang Pemilu Presiden memang boleh berkampanye tapi harus diingat Presiden adalah pejabat Negara,” kata Agus.
Jakarta – Fusilatnews – Dalam jumpa pers Peluncuran Outlook Pemberantasan Korupsi Indonesia Corruption Watch Tahun 2024, Senin (29/1/2024), di Jakarta. Koordinator ICW Agus Sunaryanto menilai, pernyataan Presiden Jokowi ibarat akan membuka kotak pandora. Pernyataan tersebut dinilai juga seolah membolehkan aparatur negara untuk berkampanye dengan menggunakan anggaran dan fasilitas negara.
Pernyataan Presiden terkait pemihakan Presiden Joko Widodo dalam kontestasi Pemilu 2024 berpotensi memperburuk situasi pemberantasan korupsi sepanjang 2024 karena tindakan Presiden bsa menjadi daya dorong politisasi anggaran negara yang rentan dengan berbagai tindakan dan perilaku koruptif.
”Kami melihat, apa yang disampaikan Presiden semakin memperkeruh situasi politik karena walaupun berdasarkan Undang-Undang tentang Pemilu Presiden memang boleh berkampanye tapi harus diingat Presiden adalah pejabat Negara,” kata Agus.
Menurut Agus, selain penggunaan anggaran, fasilitas, dan aparatur negara, tindakan Presiden tersebut seolah menormalisasi dijalankannya dinasti politik.
Karena ada Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden yang kebetulan putra sulung Presiden dan berpasangan dengan calon presiden nomor 2, Prabowo Subianto. menempatkan Presiden Jokowi pada konflik kepentingan
Titik tolak proyeksi ICW adalah pernyataan Presiden Jokowi saat diwawancarai wartawan di Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1/2024).
”Itu, kan, hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri, sama saja. Yang paling penting, presiden itu boleh lho kampanye, presiden itu boleh lho memihak. Tapi, yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara,” kata Presiden ( 25/1/2024).
Kontroversi pernyataan Presiden memicu beragam pendapat di masyarakat. selanjutanya Presiden Jokowi membuat pernyatan baru untuk meluruskan. Pernyataan baru itu direkam di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, dan disiarkan pada Jumat (26/1/2024).
Presiden di situ kembali menyampaikan bahwa aturan perundangan menegaskan jika presiden dan wakil presiden berhak berkampanye. Presiden bahkan menunjukkan kertas bertuliskan UU Pemilu dan Pasal 299 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ( 27/1/2024)
Pemihakan Presiden, menurut peneliti ICW Almas Ghaliya Putri, akan berdampak pada politisasi segala sesuatu yang terkait dengan negara, mulai dari aparatur sipil negara, TNI, Polri, hingga anggaran.
Pemilu 2024 pun dikhawatirkan tidak akan berjalan dengan adil dan setara. Demikian pula konflik kepentingan akan semakin banyak muncul yang dikhawatirkan akan semakin dianggap biasa dalam sebuah kontestasi pemilu.
Sementara itu, penyalahgunaan sumber daya yang dimiliki negara dipastikan akan semakin masif, seperti penggunaan anggaran untuk bantuan sosial (bansos). Penjatuhan sanksi dinilai tidak akan efektif karena pimpinan tertinggi juga melakukan hal yang sama atau dalam posisi tidak netral.
Berikutnya, akan muncul kebijakan pimpinan pemerintahan yang berbasis tukar guling kepemimpinan politik.
”Siapa aktor yang paling berperan menimbulkan masalah? Bisa kita sebutkan bahwa Presiden Jokowi sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas permasalahan ini. Alih-alih menjadi contoh bagi bawahan dan ASN agar tidak cawe-cawe, Presiden malah menjadi contoh sebaliknya,” ujar Almas
Penegakan Hukum
Di sisi penegakan hukum, peneliti ICW Kurnia Ramadhana memproyeksikan akan terjadi stagnasi. Mulai dari kebijakan kepolisian dan kejaksaan untuk menunda proses hukum terhadap peserta Pemilu 2024, karena akibat kebijakan yang keliru dan tidak bisa dipahami secara logika hukum.
Aparat penegak hukum, terutama kejaksaan, dinilai hanya menonjolkan ingar bingar pemberantasan korupsi dengan kerugian puluhan triliun rupiah, tetapi tidak terbuka kepada publik terkait proses pemulihan keuangan negara setelah kasus itu berkekuatan hukum tetap.
Terkait Komisi Pemberantasan Korupsi, ICW memproyeksikan gejolak masih akan terus terjadi sepanjang 2024. Kasus korupsi yang menimpa Ketua KPK Firli Bahuri, kasus pungutan liar di tahanan KPK, hingga dugaan kode etik oleh dua pimpinan KPK yang lain mengakibatkan pemberantasan korupsi oleh lembaga antirasuah itu tidak akan maksimal. Terlebih, mulai petengahan tahun ini akan dimulai proses pemilihan pimpinan KPK yang baru.
Selanjutnya diperburuk dengan pemberlakuan UU tentang Pemasyarakatan yang dinilai memberikan karpet merah bagi terpidana korupsi untuk lebih cepat bebas dari penjara. ”Ketika Jokowi bertemu beberapa ketua umum partai, yang seharusnya dibicarakan adalah perbaikan penegakan hukum, misalnya mendorong pengesahan RUU tentang perampasan aset,” kata Kurnia.
Sedangkan kaitannya dengan kontestasi pemilu, peneliti ICW Nisa Rizkiah berpandangan, semua pasangan calon presiden-calonwakil presiden maupun calon pemimpin kepala daerah tidak terlepas dari afiliasinya dengan pengusaha yang bisnisnya berbasis ekstraksi terhadap sumber daya alam, seperti pertambangan.
Sehingga dikhawatirkan akan berdampak pada timbal balik kebijakan yang menguntungkan mereka. Terbukti, kasus meninggalnya orang di lubang bekas tambang tidak pernah diikuti dengan kebijakan serius oleh kepala daerah.
Berbagai permasalahan tersebut, menurut peneliti ICW Wana Alamsyah, pada akhirnya akan berdampak pada semakin sempitnya ruang demokrasi bagi masyarakat sipil. Salah satu yang sudah tampak adalah pembungkaman kritik terhadap kebijakan pejabat publik melalui proses pidana.
Tidak hanya pemidanaan, menurut Wana, upaya transparansi untuk membuka borok pemerintah dapat berujung pada pembunuhan.
Hal itu terlihat dari peristiwa pembunuhan aparatur sipil negara Pemerintah Kota Semarang yang dibunuh karena diduga akan menjadi saksi kasus korupsi.
”Tidak ada jaminan keselamatan dari negara” kata Wana.
Presiden Harus Tegas dan Netral
Meenurut Kurnia yang dibutuhkan untuk memperbaiki keadaan saat ini adalah sikap tegas dari Presiden untuk netral dan berdiri di atas semua golongan. Demikian pula publik menunggu tindakan tegas dari Presiden untuk menindak pembantunya yang tidak netral. Namun, mengharapkan terwujudnya sikap tegas dan netral sepertinya sangat sulit.
Sementara itu, Agus menilai bahwa tindakan lembaga negara atau pejabat negara yang berani membuka indikasi kecurangan dinilai dapat menjadi celah untuk mempertahankan pemberantasan korupsi agar tidak semakin redup. Tindakan PPATK yang mengumumkan adanya dana dari proyek strategis nasional yang dinikmati politisi dinilai sebagai salah satu langkah yang baik.
Harapan publik sepenjang tahun 2024 dan seterusnya yaitu Keterbukaan dari pejabat negara jika terjadi dugaan penyelewengan semacam itu menjadi harapan menjadi peluang agar pemberantasan korupsi tetap terjaga. ”Ini menjadi harapan publik,” ujarnya