Jakarta telah resmi dipindahkan sebagai ibu kota negara sesuai dengan undang-undang yang telah disahkan dan diumumkan kepada seluruh rakyat Indonesia.
Sejarah mencatat bahwa ibu kota negara pernah dipindahkan ke Yogyakarta pada tahun 1946 dari Jakarta (saat itu dikenal sebagai Betawi). Namun, hanya dalam satu tahun, Jakarta kembali menjadi ibu kota negara dan tetap menjadi pusat pemerintahan hingga tahun 2024. Pada tahun ini, secara yuridis, ibu kota negara dipindahkan dari Jakarta sesuai dengan undang-undang yang telah ditetapkan.
Mengapa Ibu Kota Negara Harus Dipindahkan?
Ibu kota negara memiliki peran sentral sebagai pusat pemerintahan yang mengatur administrasi dan kebijakan nasional maupun daerah. Ibu kota negara adalah simbol dari sebuah negara, dan mengendalikan ibu kota berarti memiliki kendali atas pemerintahan dalam skala nasional.
Alasan utama pemindahan ibu kota dari Jakarta adalah karena kondisi ekologis yang tidak lagi mendukung. Jakarta saat ini sangat padat penduduk, dengan infrastruktur yang tidak memadai untuk mendukung kehidupan perkotaan yang sehat. Bangunan-bangunan di Jakarta sering kali tidak memenuhi standar Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), saluran pembuangan air dan sungai kurang terawat sehingga sering mengalami penyumbatan, dan banjir menjadi masalah yang berulang setiap musim hujan.
Selain itu, kemacetan lalu lintas di Jakarta telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, menyebabkan ketidaknyamanan yang besar bagi warganya. Kepemilikan kendaraan yang tidak diatur dengan baik memperburuk kemacetan, dan Jakarta menjadi jalur utama bagi kendaraan dari wilayah Jabodetabek yang semakin menambah beban lalu lintas.
Faktor-faktor inilah yang menjadi alasan kuat untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, meskipun ini bukan solusi untuk mengatasi masalah yang ada di Jakarta. Pemerintahan Anies Rasyid Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta memang telah melakukan berbagai upaya perbaikan, namun satu periode masa jabatan tidak cukup untuk menyelesaikan semua masalah yang telah terakumulasi selama bertahun-tahun.
Hubungan Antara Ibu Kota Negara dan Otonomi Daerah
Ibu kota negara berfungsi sebagai pusat aktivitas kepala negara dan kepala pemerintahan, yang mengelola bidang-bidang penting seperti politik, luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Di era otonomi daerah, pusat pemerintahan di ibu kota negara lebih fokus pada urusan-urusan tersebut, sementara daerah memiliki wewenang lebih besar untuk mengelola wilayahnya sendiri dalam berbagai aspek kehidupan.
Sebelum adanya undang-undang otonomi daerah, ibu kota negara menjadi pusat dari segala aktivitas kebijakan di seluruh provinsi di Indonesia. Namun, dengan diterapkannya otonomi daerah, peran dan fungsi ibu kota negara dalam konteks kebijakan nasional sudah berkurang. Oleh karena itu, sebaiknya ibu kota negara tetap di Jakarta dan lebih mengutamakan peningkatan peran dan fungsi pemerintah daerah secara berkesinambungan.
Membangun Ibu Kota Negara Setelah NKRI Merdeka
Setelah kemerdekaan Indonesia, ibu kota negara dibangun dari awal untuk dipersiapkan sebagai pusat pemerintahan dan tempat kepala negara beraktivitas. Pendiri bangsa, dengan semangat perjuangan, membangun ibu kota negara secara bertahap hingga mencapai usia 79 tahun, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang kita saksikan.
Jika kita meninjau kembali penataan pembangunan di Jakarta sebagai ibu kota negara, banyak aset bernilai tinggi yang telah terbangun di sana. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur harus mengikuti jejak sejarah pembangunan ibu kota negara di Jakarta, yang dimulai dari awal kemerdekaan dengan segala kesulitan, namun berhasil bertahan hingga tahun 2024?
Memindahkan ibu kota negara mungkin kurang tepat, mengingat ibu kota pertama NKRI di Jakarta dibangun dengan segala prestasinya, meskipun masih menghadapi berbagai masalah seperti banjir, kemacetan, kepadatan penduduk, dan tata ruang yang tidak teratur. Bagaimana dengan ibu kota baru NKRI di Kalimantan Timur, yang tampaknya dipaksakan untuk dibangun dengan standar modern, namun mungkin belum siap secara infrastruktur?
Jika pembangunan ibu kota baru hanya mengandalkan bantuan dari negara lain, seperti yang pernah disampaikan oleh Dino Patti Djalal, maka ibu kota baru ini mungkin akan menghadapi kendala besar dan bisa dianggap sebagai kota mati, dengan populasi yang sedikit dan tidak seaktif Jakarta. Di Jakarta saja, sebagai ibu kota negara yang sudah mapan, masih banyak masalah yang belum terselesaikan. Apalagi jika ibu kota dipindahkan ke daerah yang baru mulai dibangun dari titik nol di Penajam Paser, Kalimantan Timur.
Ini adalah catatan dari penulis, Abd. Murhan, R.SE.