Banda Aceh – Fusilatnews – Pemerintah Provinsi Aceh merespons keras tindakan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi, yang diduga memaksa anggota Paskibraka putri untuk melepas jilbab mereka dalam upacara pengukuhan tahun 2024. Melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Aceh, pemerintah Aceh memperingatkan BPIP untuk lebih konsisten dalam memperlakukan anggota Paskibraka yang mengenakan jilbab, terutama yang berasal dari Aceh.
“Kami mengharapkan BPIP konsisten terkait anggota Paskibraka putri yang berjilbab, tidak hanya dari Aceh, tetapi juga dari provinsi lainnya,” ujar Munarwansyah, Kepala Bidang Bina Ideologi Wasbang dan Karakter Bangsa Badan Kesbangpol Provinsi Aceh, saat ditemui di Banda Aceh, Rabu (14/8/2024).
Munarwansyah menegaskan, penggunaan jilbab bagi perempuan Muslimah, termasuk para anggota Paskibraka putri, merupakan hak yang dilindungi oleh undang-undang dan nilai-nilai keagamaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh. Menurutnya, tindakan memaksa melepas jilbab tidak hanya melukai perasaan masyarakat Aceh tetapi juga mencederai semangat kebhinekaan yang seharusnya dijaga oleh lembaga negara seperti BPIP.
“Bagi kami, jilbab bukan sekadar pakaian, tetapi merupakan bagian dari identitas dan keyakinan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi di Aceh, di mana syariat Islam menjadi landasan dalam kehidupan sehari-hari. Kami tidak ingin ada putri Aceh yang dipaksa melepaskan jilbabnya, baik dalam konteks nasional maupun internasional,” tegas Munarwansyah.
Reaksi keras dari Pemerintah Aceh ini muncul setelah sejumlah anggota Paskibraka putri dari berbagai daerah dilaporkan dipaksa untuk melepaskan jilbab mereka pada saat pengukuhan di Ibu Kota Nusantara (IKN). Kasus ini mencuat setelah Ketua Umum Purna Paskibraka Indonesia (PPI), Gouta Feriza, mengungkapkan bahwa selama proses pelatihan, anggota Paskibraka yang mengenakan jilbab diizinkan untuk tetap mengenakannya. Namun, pada saat pengukuhan, mereka dipaksa untuk melepas jilbab, yang dianggap inkonsisten dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Munarwansyah juga menekankan pentingnya BPIP untuk memahami dan menghormati keberagaman budaya serta keyakinan yang ada di Indonesia. Menurutnya, keputusan untuk menyeragamkan pakaian anggota Paskibraka tanpa memperhatikan aspek-aspek tersebut justru bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
“Kami berharap BPIP dapat mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut dan tidak mengulangi tindakan serupa di masa mendatang. Aceh, sebagai salah satu provinsi dengan kekhasan tersendiri, harus dihormati dalam hal keyakinan dan tradisi, termasuk dalam hal penggunaan jilbab,” katanya.
Pemerintah Aceh juga menyatakan akan terus memantau perkembangan terkait kasus ini dan tidak segan-segan untuk mengambil langkah lebih lanjut jika BPIP tetap bersikeras pada kebijakannya. Munarwansyah menegaskan bahwa pihaknya akan selalu berada di garda terdepan dalam membela hak-hak masyarakat Aceh, terutama dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan.
“Ini bukan hanya soal seragam, tetapi soal prinsip dan hak dasar yang harus dihormati oleh semua pihak. Kami akan terus mengawasi dan memastikan bahwa tidak ada putri Aceh yang dipaksa untuk melepaskan identitasnya demi alasan keseragaman yang tidak menghargai keberagaman,” tutup Munarwansyah.