Fusilatnews – Sejak era Orde Baru, Indonesia hampir tidak pernah lagi mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 8 persen. Masa itu memang diwarnai stabilitas politik dan kebijakan pembangunan yang terpusat, namun hasilnya terlihat pada pencapaian ekonomi yang signifikan. Pasca-reformasi, termasuk di era pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi hanya bergerak di kisaran 5 persen, jauh dari angka yang dibutuhkan untuk menyerap angkatan kerja baru secara memadai. Kondisi ini diperburuk dengan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), baik di sektor manufaktur maupun industri jasa, yang membuat pertumbuhan ekonomi tinggi menjadi kebutuhan mendesak.
Kini, di era Presiden Prabowo Subianto, target ambisius pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, bahkan diharapkan menembus 9 persen, menjadi fokus utama kebijakan. Presiden Prabowo sendiri menegaskan:
“Saya semakin yakin dan optimis bahwa kita akan mencapai, bahkan mungkin melebihi, pertumbuhan 8%.” (setkab.go.id)
Target ini tidak sekadar angka, melainkan jawaban terhadap kebutuhan mendesak untuk menciptakan lapangan kerja bagi jutaan orang yang masuk ke pasar tenaga kerja setiap tahun. Menurut data terbaru, gelombang PHK masih menghantui banyak sektor, dari industri tekstil hingga sektor teknologi, sehingga pertumbuhan ekonomi tinggi menjadi syarat utama untuk menahan angka pengangguran yang melonjak.
Namun, pencapaian target 8–9 persen menghadapi berbagai tantangan struktural. Sektor manufaktur yang dulu menjadi penggerak utama pertumbuhan kini menyumbang lebih sedikit terhadap PDB, sementara sektor berbasis sumber daya alam mendominasi namun menyerap tenaga kerja relatif sedikit. Konsekuensinya, kesenjangan sosial semakin melebar, dan sebagian besar manfaat pertumbuhan hanya dirasakan oleh kalangan elit bisnis dan politik. Ketidakpuasan publik pun mulai memuncak, bahkan menimbulkan protes di beberapa daerah.
Pemerintah Prabowo telah menempuh sejumlah strategi untuk mencapai target ini. Rasio pajak terhadap PDB ditingkatkan, reformasi subsidi energi diterapkan, dan upaya peningkatan investasi sektor swasta digalakkan. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menekankan bahwa pencapaian 8 persen “bukan hal yang mustahil”, tetapi memerlukan langkah-langkah konkret yang berpihak pada penciptaan lapangan kerja dan pemberdayaan sektor riil. (reuters.com)
Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia mampu mencapai pertumbuhan tinggi jika ada stabilitas dan reformasi struktural yang tepat. Oleh karena itu, target Prabowo bukan sekadar aspirasi, tetapi kebutuhan strategis. Namun, tanpa reformasi yang berani, efisiensi birokrasi, dan kebijakan yang benar-benar berpihak pada penciptaan lapangan kerja, target tersebut berisiko menjadi impian semu.
Indonesia di era Prabowo menghadapi momen krusial: apakah pertumbuhan ekonomi tinggi akan menjadi kenyataan yang mampu menyejahterakan masyarakat luas, ataukah hanya menjadi angka simbolis yang jauh dari realitas sosial dan ekonomi rakyat banyak. Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah masa depan bangsa dalam dekade berikutnya.























