OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Jam 4 subuh saya posting soal Petani Milenial di sebuah WA Grup. Jam 6 padi sudah banyak para anggota WA grup yang memberi respon. Ada yang mendukung terhadap apa yang di posting, bahkan ada juga yang berpandangan, sebaik nya Program Milenial jangan dikemas dalam bentuk keproyekan. “Proyek nya selesai, otomatis program nya juga bubar”.
Begitu tulis nya di WA. Diskusi pun berkembang. Salah seorang adik kelas di SMA bahkan terus berlanjut menjadi yunior saya di IPB malah merisaukan jika Program Petani Milenial menjadi sebuah pencitraan. Jika hal ini terjadi, boleh jadi ujung-ujung nya para petani yang akan menjadi korban. Dengan kata lain, petani belum akan mampu menjadi penikmat pembangunan.
Petani, khusus nya petani gurem dan petani buruh, telah dicap sebagai warga bangsa yang terpinggirkan dari hiruk pikuk nya pembangunan yang tengah kita arungi selama ini. Proses marjinalisasi petani sendiri telah berlangsung sejak lama. Petani seolah-olah dibuat tidak berdaya dan tidak bermartabat. Lebih parah nya lagi, ternyata jebakan kemiskinan struktural yang selama ini dirasakan kaum tani, membuat mereka cukup kesulitan untuk mengubah nasib.
Keinginan untuk secepat nya mensejahterakan mereka, identik dengan mengecat langit. Padahal, kita tahu persis, petani di negeri ini memiliki hak untuk hidup sejahtera, sedangkan Pemerintah memiliki kewajiban untuk mensejahterakan petani. Hak petani dan kewajiban Pemerintah, seolah-olah sangat sulit untuk diramu agar terwujud kehidupan petani yang sejahtera.
Perlindungan dan pembelaan petani pun terekam sangat lambat. Baru setelah 68 tahun merdeka, bangsa ini memiliki regulasi setingkat Undang Undang yang melakukan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang tertuang dalam Undang Undang No. 19 Tahun 2013. Lucu nya, hingga terbit nya Undang Undang No. 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja, ternyata Peraturan Pemerintah nya, tidak pernah diterbitkan oleh Pemerintah.
Undang Undang tanpa disertai Peraturan Pemerintah sama saja dengan bohong. Atau bisa juga orang berpandangan, para perancang Undang Undang di negara kita, seperti yang “setengah hati” untuk menjalankan Undang Undang yang telah dilahirkan nta itu. Hal ini hampir tidak jauh berbeda dengan yang terjadi dalam Undang Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Baru setelah 9 tahun Undang Undang ini dilahirkan, Peraturan Presiden terkait dengan lembaga pangan tingkat nasional diterbitkan.
Catatan kritis nya adalah ada apa dibalik semua nya ini ? Mengapa Pemerintah terkesan enggan sesegera mungkin melahirkan turunan regulasi agar dapat segera berjalan ? Seorang sahabat malah menyatakan “sudah sangat lama kita menantikan hadir nya regulasi setingkat Undang Undang yang mengatur pemberdayaan dan perlindungan petani, kemudian setelah Undang Undang nya lahir, kenapa Peraturan Pemerintah nya tidak nongol-nongol pula” ?.
Tapi, inilah menarik nya hidup di Tanah Merdeka. Negeri yang kaya raya akan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia ini, dimana sebagian besar warga bangsa nya bermata-pencaharian di sektor pertanian dalam arti luas, ternyata Pemerintahan nya kurang memperlihatkan keberpihakan dan kecintaan nya terhadap nasib dan kehidupan kaum tani nya. Arti nya, sekali pun sejak 1952 Bung Karno menyebut PETANI adalah Penjaga Tatanan Negara Indonesia, namun hingga kini esensi dari akronim diatas, masih belum “dijawab” serius oleh Pemerintah.
Coba tengok politik anggaran yang selama ini dikucurkan untuk pembangunan pertanian atau pembangunan petani itu sendiri ? Kalau kita cermati APBN kita, anggaran untuk pertanian, tercatat hanya sekitar 5 %. Begitu pun untuk APBD Provinsi. Bahkan ada yang kurang dari 5 %. Sedih nya lagi, ternyata untuk APBD Kabupaten/Kota rata-rata sekitar 3 % saja. Dibandingkan dengan sektor lain, politik anggaran untuk pertanian, terlihat tidak berkorelasi positip dengan keperkasaan pertanian dalam menghalau berbagai bencana kemanusiaan yang kita alami.
Apa yang terjadi dalam 2 tahun belakangan ini misal nya, di saat seluruh warga dunia di sergap Covid 19, semua sektor pembangunan mengalami pertumbuhan yang negatif, terkecuali sektor pertanian dan industri digital yang mampu bertumbuh positip. Atas hal yang demikian, wajar jika banyak pejabat menyebut sektor pertanian merupakan penyelamat ekonomi bangsa. Tanpa kehadiran sektor pertanian, boleh jadi petekonomian bangsa bakal semakin porak-poranda karena ada nya Virus Corona.
Di sisi lain, isu pembangunan pertanian dan pembangunan petani yang mengedepan saat ini adalah terjadi nya alih fungsi lahan pertanian produktif ke non pertanian yang terekam semakin membabi-buta dan tidak terkendalikan dengan baik, juga muncul nya fenomena kaum muda perdesaan yang enggan untuk menjadi petani. Ke dua isu, jika tidak ditangani secara cerdas, dikhawatirkan akan menjadi bom waktu di masa depan. Itu sebab nya, kita meminta kepada Pemerintah untuk secepat nya mencarikan jalan keluar nya.
Salah satu jawaban Pemerintah adalah lewat pengembangan program Petani Milenial. Melalui kebijakan ini, Pemerintah berharap agar kaum muda mau mencintai dan berkiprah menjadi petani. Semua pihak berkeinginan agar program ini mampu menjadi solusi cerdas terhadap alih generaso di kalangan kaum tani. Tidak kurang dari Presiden Jokowi pun berharap banyak terhadap program Petani Milenial ini. Apalagi, bila hal ini dikaitkan dengan pernyataan Menteri Pertanian Sjahrul Yasir Limpo yang kerap kali menegaskan “Pertanian Tidak Pernah Ingkar Janji”.
Pertanyaan nya adalah apakah Petani Milenial tidak akan ingkar janji, sekira nya para peserta program ini mendapatkan peluang kerja yang lebih baik dibandingkan menjadi Petani Milenial ? Sebut saja diri nya keterima jadi Aparat Sipil Negara (ASN) ? Atau diri nya diterima menjadi karyawan di perusahaan sekaliber Multi-Nasional ? Apakah program Petani Milenial mampu “melarang” peserta program Petani Milenial untuk tetap bertahan dalam program yang diikuti nya, sementara di sisi yang lain pekerjaan yang menjanjikan masa depan, pintu nya telah terbuka lebar ? Jawaban inilah yang penting kita bahas secara lebih dalam lagi.
Program Petani Milenial, tentu akan dijalani sepenuh hati oleh para peserta nya, jika dan hanya jika program ini mampu memberi jaminan atas nasib dan kehidupan nya. Pertama, ada nya garansi kalau menjadi Petani Milenial diri nya tidak akan hidup sengsara, namun akan dapat hidup sejahtera. Kedua, sebagai Petani Milenial, Pemerintah akan memberi perlindungan dari praktek-praktek kehidupan ekonomi yang cenderung memarjinalkan kehidupan nya. Ketiga, Petani Milenial merupakan tiket menjadi penikmat pembangunan dan tidak lagi menjadi korban pembangunan.
Program Petani Milenial, kini telah berjalan beberapa tahun. Banyak suara sumbang terdengar dari berbagai daerah. Banyak keluhan yang muncul dari para peserta program. Bahkan ada juga yang mempertanyakan kelanjutan dari program Petani Milenial itu sendiri. Sebab, kalau pendekatan nya proyek, dikhawatirkan, bila proyek nya selesai, maka program nya pun akan ikut-ikutan bubar. Ini yang ditakutkan. Program Petani Milenial, memang tidak disiapkan untuk pencitraan pejabat, namun lebih arahkan untuk mensolusikan masalah regenerasi petani. (PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).