Oleh M Yamin Nasution-Pemerhati Hukum
Tulisan ini di telisik dari perspektif hukum tata negara, hukum pidana dalam system penegakan hukum negara demokrasi.
Negara Hukum
Rechtstaat atau negara hukum dicirikan dengan aturan-aturan hukum yang menjadi punggawa dalam kehidupan bernegara.
Dr. Eduard Mahirs (1830) mengatakan : bila seseorang dibiarkan melanggar hukum, maka setiap orang harus dibenarkan untuk melakukan hal yang sama, akan tetapi tak dapat dibayangkan bahwa eksistensi negara akan musnah.
Oleh sebab itu, tuntutan ketaatan terhadap hukum menjadi utama dan terpenting dalam negara demokrasi, Cristina Nicolescu-Waggonner (2016) mengatakan : tanpa ketaatan terhadap hukum, tidak ada demokrasi “no rule of law, no democracy”.
Setiap aturan hukum (undang-undang) yang telah dianggap setiap orang wajib mengetahui, taka da alasan bagi seseorang untuk mengatakan tidak mengetahui suatu aturan hukum yang telah ditetapkan.
Apabila suatu pelanggaran hukum dilakukan oleh seseorang maka, pelanggar harus dihukum, dalam asas universal disebut sebagai “Ignorantia legis neminem excusat”.
Tujuan menghukum bagi pelanggar hukum termasuk orang yang tidak mengetahui aturan yang telah disahkan adalah PERTAMA, menjaga marwah pembentuk aturan tersebut, KEDUA, menjaga eksistensi dalam bernegara.
Tujuan hukum secara sosiologis adalah menciptakan harmonisasi di masyarakat (Max Weber 1919), sehingga dengan adanya aturan hukum saya tidak dapat menyakiti dia, dan dia tidak bisa melukai mereka. Sehingga setiap orang dapat hidup saling berdampingan (Johann Gotlieb Fitche 2018).
Sedangkan tujuan hukum berdasarkan antropologi adalah menjaga sifat subjektif dari penegak hukum atau orang-orang yang diberikan otoritas dalam mengatur dan menjaga ketertiban tersebut (Immanuel Kant 1879, Luca D’Auria 2022).
Dalam konsep hukum pembuktian pidana dikatakan bahwa bukti-bukti harus lebih terang dari cahaya “in criminalibus probantiones bedent esse luce clariores” untuk mencari kebenaran materil sehingga seseorang dapat dikatakan bersalah secara mutlak dan tak terbantahkan.
Akan tetapi dalam tuntutan ketaatan terhadap aturan hukum yang telah disahkan, hakim dapat mengesampingkan bukti-bukti, namun tidak terhadap pelanggaran hukum “ingorantia judicis est calanaitax innocentis”.
Demikianlah pentingnya tentang ketaatan terhadap hukum, terlebih bagi penegak hukum, mengingat potensi pelanggaran hukum lebih maksimal dilakukan oleh penegak hukum atau pemangku jabatan itu sendiri, sebagai pemegang hak subjektif hukum.
Apabila sedikit saja kewenangan yang diberikan disalah gunakan, maka kewenangan akan berubahn menjadi kesewengan-wenangan.
Apabila seorang warga sipil melakukan kejahatan pembunuhan, pencurian maka pelaku hanya merugikan satu orang lain.
Namun seorang pemangku kekuasaan, petugas melanggar hukum maka akan merugikan jutaan masyarakat, dan potensi pelanggaran-pelanggaran hukum berikutnya akan diikuti oleh petugas lain dan generasi penagak hukum, eksistensi negara bangkrut, hukum menjadi kusam dan keadilan akan mati, rakyat resah secara nasional.
Hukum Pidana
Hukum pidana adalah hukum yang multi fungsi, Christoph Christian von Dabelow (1793) menerangkan tentang hukum pidana negara mengatur tentang pelaku pelanggaran, selain pelanggaran hak, keamanan dan pertahanan negara.
Maka dari keterangan ini, dapat diketahui bahwa apa yang diterangkan oleh Prof. Eddie O. Hiariej dibeberapa media tentang hukum pidana yang mengatur keamanan dan pertahanan negara adalah pandangan konsep hukum alam yang telah amat kuno, mengingat hukum pidana dalam perkembangannya adalah pertanggungjawaban pribadi yang diatur untuk kemaanan publik sedangkan, sedangkan keamanan dan pertahanan negara bersifat pertangungjawaban kolektif, dimana konsep ini menjadikan dasar kepala negara dan Lembaga negara tak dapat dihina.
Hukum pidana peninggalan kolonial telah menyisakan banyak pertanyaan-pertanyaan dalam banyak hal, dan menyisakan banyak permasalahan dinegara Indonesia.
Selain dari penfasiran yang asal-asalan dilakukan oleh pihak kolonial sejak KUHP ditafsir dari Bahasa Prancis (Code Penale) ke KUHP Bahasa Belanda (WvS).
Ahli hukum dari Leiden, Prof. C.J. van Assen, (1850) yang ikut meneliti tugas komisi pembentukan semua Kitab Hukum Hindia Belanda berdasarkan keputusan Komite Kerajaan tanggal 15 Agustus 1847 dibawah Mentri Kehakiman Cornelis Felix van Maanen, ia mengatakan:
“Tidak ada satu katapun yang berubah ketika semua Pasal di salin, Anggota Parlemen Hindia Belanda Berbohong, dan mereka yang mengerjakan tidak memahami bahasa dengan baik, bahkan lebih buruk anggota menyalin dengan bahasa yang lebih buruk dari bahasa Prancis ke bahasa Hukum Belanda untuk Kitab Hukum di negara Kolonial, hal ini terjadi dalam semua Kitab Hukum, termasuk hukum pidana dan Perdata”.
Sehingga Negara Belanda (Bukan Hindia Belenda) memutuskan untuk tidak mengikuti tafsir KUHP Prancis, mengingat Prancis tidak memperdulikan tafsir tentang kejahatan umum secara benar. Akan tetapi negara Belanda mengikuti tafsir pidana Jerman, merujuk pada von Feurbach, Abeg, dan lainnya (van Deinse, 1825).
Permasalahan utama yang ditinggalakan oleh penjajah Prancis ke Belanda, dan Belanda ke Hindia Belanda (Indonesia) adalah karakter dan sifat buruk yang sengaja diberikan kepada penegak hukum yaitu sifat semena-mena. Dimana penegak hukum diberikan impunitas atau kewenangan berlebihan sehingga dapat melakukan apapun terhadap rakyat (Ahli hukum Prancis M. Cheavau & M. Christine Hellie, 1875).
Atau istilah lain seperti yang diterangkan diatas adalah sifat subjektif yang dihidupkan dengan sengaja oleh KUHP itu sendiri.
Contoh, terdapat pada banyak pasal tentang unsur pidana yang menggunakan frasa “barang siapa”, Frasa ini gagal secara antropologi hukum untuk menjaga sifat subjektif penegak hukum itu sendiri. Kepada rakyat hukum melindungi, kepada penegak dan petugas hukum menjaga sifat subketif.
Secara sosiologis rakyat biasa hanya memiliki satu dasar ketataan terhadap hukum, sedangkan petugas hidup dan memiliki dua jenis landasan hukum.
Petugas dengan jabatannya secara sosiologis adalah hak hukum kedua yang memiliki potensi untuk melakukan kesewenangan-wenangan.
Baca juga : https://fusilatnews.com/rocky-gerung-keliru-menjabarkan-fiksi-hukum/ sehingga dapat memahami tentang makna Pasal 27 UUD-NRI 1945 tentang yang dimaksud dengan kesetaraan dihadapan hukum, dan kaitkan dengan hak hukumm kedua yang dijabarkan oleh Immanuel Kant, Cicero, Frederich Hase.
Contoh lain adalah, bahwa polisi dibenarkan dan dianggap adil untuk menangkap penjahat sebab undang-undang memerintahkan hal tersebut.
Namun apakah sebagai negara hukum, menangkap seseorang lalu memasukkan kedalam ruangan 1,5 m x 2 m, memiliki dasar hukum? Selanjutnya memriksa dengan intimidasi terperiksa seperti banyak kasus juga diatur hukum?
Bukankah KUHAP dan HAM Internasional memerintahkan bahwa dalam penyidikan satu perkara dilarang untuk menurunkan Kesehatan fisik dan fisikis terperiksa.
Hal-hal yang terlihat kecil diatas menyebabkan banyaknya pelanggaran-pelanggaran procedural yang dianggap tidak penting dan terlupakan sehingga kehidupan dalam negara hukum rusak dan eksistensi negara demokrasi menuju kuburan masal rakyat kecil.
Johann Anselm von Feuerbach sebagai motor utama yang menciptakan asas fundamental dalam penegakan hukum pidana merubah arti kejatahan pada risalah hukum ke 11 tahun 1832 setahun sebelum ia meninggal, berbeda dengan 1801 (kejahatan merupakan hak publik subketif) dan perubahan kedua 1805. Feuerbach memasukkan pelanggaran aturan teknis (administrasi) adalah kejahatan, sebab merusak dan dianggap sebagai pembangkangan terhadap negara yang berpotensi merusak lebih besar dari seorang pelaku kejatahan kriminal.
John Austin dalam bab 1 pelajaran hukumnya juga menafsirkan hal yang bahwa, dalam hukum positif apabila suatu hukum telah dibuat maka memiliki fungsi ada tiga PERTAMA, tugas (duty), KEDUA, Perintah (command) dan KETIGA, Sanksi (sunction). Ketiga hal ini berisfat korelatif, apabila seseorang yang melanggar harus dihukum, walaupun tidak melakukan kejahatan kriminal. (John Austin dan Sarah Austin, 1789).
Polisi
Tidak kepentingan publik yang lebih menarik untuk dilihat dan dibahas daripada keselamatan publik. Kemampuan Angkatan kepolisian dalam melakukan aktivitasnya dengan aman, efektif dan efisien yang sesuai dengan persyaratan undang-undang dan konstitusi, hal ini sangat bergantung pada KESEHATAN fungsional para profesional kepolisian dan lembaga tempat mereka bekerja.
Petugas Polisi adalah satu-satunya posisi pekerjaan dalam masyarakat sipil dan demokratis yang memiliki wewenang menurut undang-undang untuk menggunakan kekuatan yang mematikan dalam melakukan penanganan kejahatan. Tanggung jawab ini kerap kali membuat anggota stress berat serta traumatis (Cary L. Mitchell & Edrick H. Dorian, 2016)
Bayangkan, setelah anggota polisi dinyataka lulus sebagai petugas, maka mereka dididik dengan sangat keras, dengan disiplin tingkat tinggi. Paska selesai Pendidikan maka mereka ditugaskan untuk pelayanan kepada masyarakat, lalu dimintai ramah tamah dan senyum.
Pernahkah Indonesia menyadari bahwa dua hal ini bertolak belakang secara psikologis? Disisi lain, Moto Bareskrim berkeadilan adalah satu cacat nalar yang di kutip dari dua konsep peneliti kepolisian Irlandia, dimana ada puluhan peneliti menolak tentang konsep in, mengingat Kepolisian bukan lembaga pencipta keadilan. Petugas polisi hanya dituntut untuk professional, dengan profesionalisme dan ketaatan terhadap hukum maka rasa keadilan akan terpenuhi dengan sendiri.
Otto Chaimer berpendapat bahwa, disebut politik apabila secara terus menerus melayani masyarakat. Maka, kepolisian satu-satunya lembaga yang melayani selama 24 jam perhari melebih lembaga politik manapun dinegara.
Namun, bagaimana seorang polisis dapat menjadi frofesional dalam melayani masyarakat apabila masih terpenjara dengan kebutuhan lain yang membuat psikologinya terganggu, yang berkaitan dengan keluarga, dan hirarki jabatan dalam aktivitas keseharian.
Profesionalisme seseorang hanya maksimal dilakukan bila tidak terbelenggu dengan hal-hal lain. Contoh, Polisi tidak dapat bekerja professional bila kebutuhan internal masih mengikatnya, maka dalam aktivitas sehari-hari seorang petugas gagal untuk profesional.
1830 dalam sejarah polisi modern di London, telah diciptakan macam-macam kepolisian termasuk adhoc polisi, akan tetapi masih banyak anggota yang terlibat politik bengkok dengan penguasa daerah hingga tertinggi, selain itu polisi kerap kali ditemukan mabuk saat berdinas.
Legislatif
Tidak ada hutang yang lebih besar dan terbesar bagi setiap legislatif kecuali melahirkan produk hukum yang baik, yang mampu menciptakan harmonisasi yang dibaik dimasyarakat, menciptakan hukum yang menjamin setiap penegak hukum tak dapat melakukan secara semena-mena hak subjektifnya (terpenuhinya tujuan hukum secara antropologi).
Sehingga tak seorangpun petugas polisi dapat dibiarkan melanggar aturan hukum secara menyeluruh termasuk memastikan aturan teknis tidak bertolak belakang dengan uu.
Sehingga hukum dapat menarik kebiasaan buruk menjadi kebiasaan yang baik, layaknya bagaimana tradisi buruk masyarakat terdahulu saat masih primitive, menjadi lebih baik saat aturan teologis diimplementasikan.
Negara Belanda sendiri sejak tahun 1808 telah berupaya menghilangkan sifat impunitas tersebut dengan membentuk KUHP baru, dan tak satupun pasal yang dibuat tanpa diperdebatan secra mendalam yang meliputi unsur sosiologis, historis dan filosofis (H.J Smidt, 1808).
Keseweng-wenangan dinegara ini tidak hanya terjadi karena petugas yang ceroboh, akan tetapi legislatif tidak mampu menciptakan hukum sebagai landasan dalam negara hukum.
Kerusakan negara hukum disebabkan rusaknya hukum yang diciptakan legislatif, sebab hukum secara sosiologis menurut Max Weber seperti cermin ajaib. Bila polisi rusak maka hukum rusak, hukum rusak disebabkan politisi rusak dan busuk.
Anjing Polisi
Dalam perkembangan zaman Anjing telah digunakan dalam membantu pihak kepolisian dalam melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat.
Anjing-anjing tersebut terlatih dengan baik, dan memiliki kehidupan sebagai hewan yang bahkan lebih baik dari kehidupan rakyat, dimana rakyat itu sendiri yang memberikan biaya terhadap hewan ini.
Hewan-hewan ini bahkan diberikan lencana apabila dianggap purna masa tugasnya, demikianlah perhatian terhadap anjing-anjing yang digunakan sebagai pembantu pelayanan masyarakat.
Anjing-anjing ini begitu professional dalam menjalankan tugasnya, bahkan anjing-anjing ini meniliki kecakapan dalam berbicara dengan bahasanya.
Kesimpulan
PERTAMA, Salah satu pasal yang dibahas secara alot di gedung DPR belanda pada tahun 1808 berkaitan dengan pasal penganiayaan terhadap hewan.
Mikey salah satu anggota dewan kala itu, bertanya kepada motor perubahan KUHP Belanda yaitu Prof A.E.J. Moderman.
Mikey : “Apakah KUHP ini menyamakan manusia dengan hewan?” dimana terlarang melukai hewan baik ringan maupun berat.
Modermann : “Secara filosofis sebab negara ini berlandasakan pada ketaatan terhadap Tuhan, maka terlarangan menyakiti hewan baik ringan maupun berat. Terlebih lagi menyakiti manusia, maka dalam pemidanaan sifat impunitas KUHP Prancis kita hapuskan, sebab KUHP tersebut tidak dibuat untuk melindungi rakyat, dan keperluan kebaikan negara Belanda, akan tetapi untuk penjajah Prancis dapat semena-mena dalam mempertahankan kekuasaan sehingga mereka semena-mena.
Adapun salah satu aturan tersebut ialah Pasal 302 berbunyi :
Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan.
KEDUA, Rusaknya peradaban hukum Indonesia sebab legislative tak memiliki poengetahuan hukum yang baik sehingga kerap kali hukum dibuat tanpa dasar pengetahuan sosiologis, filosofis, historis;
KETIGA, Anggota polisi wajib taat terhadap hukum dalam proses pemolisian, dalam proses penyelidikan, termasuk taat pada perkapolri yang mengatur tentang proses pidana. Tanpa ketaatan terhadap hukum maka potensi anggota akan lebih buas dari Anjing (K9), oleh sebab itu setiap pelanggaran terhadap aturan teknis adalah kejahatan dalam bernegara yang harus dihukum layaknya sepertidisebutkan oleh para ahli diatas, demi eksistensi negara.