Komunikasi politik adalah seni menyampaikan pesan kepada publik dengan cara yang dapat diterima dan mendukung tujuan politik sang komunikator. Dalam teori komunikasi politik, pendekatan dapat dibedakan menjadi komunikasi persuasif dan komunikasi otoritatif. Komunikasi persuasif lebih menekankan partisipasi publik dan pendekatan emosional, sementara komunikasi otoritatif cenderung top-down dan berbasis instruksi. Dalam konteks politik Indonesia, dua figur yang menarik untuk dibandingkan dalam pendekatan komunikasinya adalah Dedi Mulyadi dan Prabowo Subianto. Keduanya memiliki gaya yang kontras: Dedi Mulyadi dengan komunikasi politik sipil yang membumi dan populis, sementara Prabowo dengan gaya komunikasi ala militer yang tegas dan kaku.
Dedi Mulyadi: Menghapus Privilege Demi Melahirkan Legitimasi Publik
Dedi Mulyadi, yang dikenal dengan gaya sederhana dan dekat dengan rakyat, memulai komunikasinya dengan aksi nyata: menghapus anggaran untuk kepentingan pribadinya sebagai pejabat. Dalam teori kredibilitas politik, pendekatan ini disebut sebagai “symbolic action,” di mana seorang pemimpin memperlihatkan komitmennya secara konkret untuk membangun kepercayaan publik. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak membutuhkan mobil dinas atau anggaran belanja gubernur. Pesan yang ingin ia sampaikan jelas: seorang pemimpin seharusnya tidak menikmati fasilitas negara yang berlebihan. Setelah itu, ia melanjutkan dengan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada masyarakat, seperti melarang study tour yang dinilai lebih banyak menghamburkan uang rakyat ketimbang memberikan manfaat pendidikan yang nyata.
Pendekatan ini menuai respons positif dari masyarakat. Dalam teori respons publik, langkah Dedi Mulyadi dapat dikategorikan sebagai “resonansi emosional,” di mana pemimpin membangun hubungan psikologis dengan rakyat. Kebijakannya dianggap sebagai wujud keberpihakan pada kepentingan rakyat dan melawan gaya hidup pejabat yang serba mewah. Ia mendapatkan simpati, pujian, dan dukungan luas. Dengan membangun narasi bahwa pejabat harus hidup sederhana, Dedi Mulyadi menciptakan ikatan emosional dengan rakyat. Inilah komunikasi politik sipil: pendekatan yang persuasif, berbasis contoh, dan membumi.
Prabowo: Efisiensi yang Berujung Penolakan
Sebaliknya, Prabowo Subianto, dengan latar belakang militer yang kuat, lebih mengedepankan pendekatan top-down dalam kebijakannya. Dalam teori kepemimpinan Weberian, gaya komunikasi Prabowo termasuk dalam kategori “otoritatif-rasional,” di mana keputusan didasarkan pada efisiensi dan struktur birokratis. Demi efisiensi, ia mengambil langkah tegas dengan memangkas sejumlah anggaran seperti perjalanan dinas dan pengurangan fasilitas tertentu. Secara prinsip, kebijakan ini sebenarnya memiliki tujuan yang mirip dengan pendekatan Dedi Mulyadi, yaitu menghilangkan pengeluaran yang dianggap tidak perlu. Namun, perbedaan terletak pada cara komunikasi dan penerimaan publik.
Tanpa ada narasi yang cukup membangun pemahaman publik, kebijakan ini justru menimbulkan reaksi negatif. Kalangan dunia usaha, seperti Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), merasa terdampak langsung karena pengurangan perjalanan dinas berarti berkurangnya tamu di sektor perhotelan dan restoran. Dalam perspektif teori legitimasi kebijakan, kebijakan Prabowo gagal dalam tahap “justifikasi publik,” di mana kebijakan yang diambil tidak melalui mekanisme komunikasi yang cukup untuk mendapatkan penerimaan sosial. Gelombang ketidakpuasan pun meluas, dan puncaknya adalah aksi demonstrasi besar oleh mahasiswa yang menyoroti dampak kebijakan ini. Dengan tema “Indonesia Gelap,” mahasiswa menggambarkan kebijakan ini sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap dinamika sosial-ekonomi masyarakat.
Kontras Gaya Komunikasi: Sipil vs. Soldadu
Perbedaan utama antara Dedi Mulyadi dan Prabowo dalam konteks ini terletak pada cara mereka mengomunikasikan kebijakan yang sebenarnya memiliki tujuan serupa. Dalam teori komunikasi politik McNair, komunikasi politik yang efektif harus mencakup aspek “interaksi dua arah,” di mana pemimpin tidak hanya menginstruksikan tetapi juga mendengarkan dan merespons kebutuhan publik. Dedi Mulyadi memulai dengan contoh konkret yang langsung menyentuh hati rakyat, sehingga pesan penghematan anggaran diterima sebagai bentuk kepedulian. Sementara Prabowo, dengan pendekatan militeristiknya, mengedepankan kebijakan tanpa terlebih dahulu membangun penerimaan publik yang kuat, sehingga justru menimbulkan resistensi.
Kisah ini menunjukkan bahwa dalam politik, bukan hanya substansi kebijakan yang penting, tetapi juga bagaimana kebijakan tersebut dikomunikasikan. Dedi Mulyadi menunjukkan bahwa pendekatan sipil yang berbasis empati dan pemahaman terhadap psikologi masyarakat lebih efektif dalam meraih dukungan publik. Sementara itu, Prabowo menjadi contoh bahwa meskipun niatnya baik, komunikasi yang kaku dan kurang memperhitungkan reaksi sosial dapat berujung pada protes dan ketidakpuasan.
Dalam era politik modern, keberhasilan seorang pemimpin tidak hanya ditentukan oleh kebijakan yang dibuat, tetapi juga oleh seni berkomunikasi. Gaya komunikasi sipil seperti yang diterapkan oleh Dedi Mulyadi terbukti lebih diterima dibandingkan dengan gaya soldadu ala Prabowo yang cenderung otoritatif. Politik bukan sekadar soal keputusan, tetapi juga soal bagaimana keputusan itu dirasakan oleh rakyat.