Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, mulai diperiksa oleh penyidik KPK terkait dugaan korupsi pembagian kuota haji (Jumat, 8/8/2025).
Sejatinya, jauh sebelumnya, pada 2024, Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu mengungkap bahwa pemerintah memberi subsidi lebih dari setengah biaya haji jemaah Indonesia. Menurutnya, normalnya jemaah memerlukan biaya Rp81,7 juta untuk pelaksanaan ibadah haji. Pernyataan ini patut diklarifikasi ulang oleh KPK, karena jika Yaqut terbukti bersalah, ada indikasi kuat Anggito juga bisa terseret sebagai tersangka.
Dari Abolisi hingga Amnesti: Tren Baru Politik Kekuasaan
Fenomena pengampunan politik sudah terlihat sejak Jokowi memberikan abolisi kepada Lembong—orang dekat Anies Baswedan—yang ditahan akibat kebijakan impor gula. Publik memprotes keras, mengingat kebijakan tersebut dijalankan atas perintah Jokowi, tidak menimbulkan kerugian negara, dan justru menteri sebelumnya yang mengimpor gula lebih banyak tidak tersentuh hukum.
Berikutnya, muncul amnesti untuk Hasto Kristiyanto, tokoh PDIP yang kini menjadi lawan politik Jokowi, menyusul keretakan hubungan antara Jokowi dan PDIP. Proses hukum KPK terhadap Hasto dipandang penuh tendensi dan mencerminkan arogansi kekuasaan.
Anehnya, mayoritas pengamat justru menyambut positif langkah pengampunan ini, meski jelas-jelas membuka peluang politisasi hukum.
Pertanyaan Serius yang Tak Boleh Diabaikan
- Apakah kebijakan abolisi, amnesti, grasi, bahkan rehabilitasi ini akan diberlakukan juga kepada pejabat pro-Jokowi yang terjerat kasus korupsi luar biasa, seperti Yaqut dan Nadiem Makarim?
- Apakah diskresi politik ini akan melindungi tokoh-tokoh Jokowi lain yang pernah tersorot isu korupsi—misalnya Airlangga Hartarto, Tito Karnavian, Zulkifli Hasan, Bahlil Lahadalia, dan lainnya—dengan “peti es” kasus, tanpa perlu pengampunan formal?
Dengan tren “pengampunan” dan “pembekuan kasus” ini, sangat mungkin pola tersebut suatu saat menyentuh dugaan gratifikasi atau korupsi yang menyerempet Gibran, Kaesang, atau Bobby Nasution.
Otoritarianisme di Balik Hak Prerogatif
Jika pola ini berlanjut, hukum di Indonesia bukan lagi rule of law, melainkan rule of president—di mana kekuasaan prerogatif eksekutif menjadi panglima. Sistem hukum akan terdegradasi, asas dan teori hukum menjadi nirguna, dan perguruan tinggi hukum kehilangan relevansinya.
Ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi penuntun masa depan akan dipinggirkan, digantikan oleh kalkulasi politik kekuasaan. Moral publik akan terkikis, mentalitas bangsa merosot.
Fenomena ini adalah alarm keras. Satu dekade kekuasaan Jokowi telah memperlihatkan betapa mudahnya konstitusi didiskreditkan. Maka, bangsa ini perlu lebih khusyuk memohon perlindungan Tuhan agar hukum tidak sepenuhnya takluk di hadapan kekuasaan.