Oleh: Damai Hari Lubis-Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Pernyataan Prabowo tersebut memiliki makna yang cukup jelas: reshuffle adalah hak prerogatifnya sebagai Presiden terhadap para menterinya. Namun, siapa yang akan menjadi “korban” setelah 100 hari masa pemerintahan, hanya Prabowo dan Tuhan yang mengetahuinya.
Publik hanya bisa menilai berdasarkan hasil kinerja para menteri. Sosok yang dianggap “ndableg” umumnya merujuk pada beberapa menteri “titipan” Jokowi, yang dulunya berada di kabinet Jokowi tetapi dinilai tidak memiliki prestasi karena kinerja mereka dianggap cacat di mata publik.
Prabowo Wajib Diapresiasi, Namun Jangan Besar Kepala
Sebagai Presiden RI, Prabowo harus tetap dijaga marwah dan wibawanya. Publik harus terus memberikan dukungan moral untuk mengantisipasi kemungkinan adanya “rongrongan” dari Jokowi. Asumsi yang berkembang di kalangan pengamat adalah bahwa Jokowi masih memiliki ambisi besar terhadap kekuasaan, bahkan mencoba menjadikannya sebagai warisan politik kepada Gibran.
Jika asumsi ini benar dan direstui oleh faktor kekuasaan, tentu hal ini melanggar konstitusi. Negara RI tidak mengenal sistem estafet atau warisan kekuasaan, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan UU Pemilu.
Dalam dunia politik yang sarat dengan kepentingan, kesetiaan hanyalah ilusi. Hal ini terlihat dari perubahan sikap Prabowo, yang awalnya berjanji akan melanjutkan program Jokowi, tetapi kini mulai membatalkan satu per satu kebijakan pendahulunya. Beberapa kebijakan Jokowi yang mulai dipreteli oleh Prabowo antara lain:
- Penundaan proyek IKN tanpa batas waktu.
- Pembatalan program TAPERA.
- Potensi pembatalan izin PSN PIK 2 serta pencabutan pemagaran laut.
- Reshuffle terhadap menteri-menteri titipan oligarki era Jokowi yang dianggap “ndableg”.
Perubahan sikap ini membuat Prabowo tampak sebagai “pengkhianat” di mata antek-antek Jokowi, tetapi justru semakin populer di kalangan publik yang berpikir rasional. Banyak apresiasi yang diberikan kepadanya, karena kebijakan ekonomi dan sistem hukum Jokowi dinilai illogical dan menjadi beban bagi bangsa.
Jokowi dan Kroninya: Politik Kekanak-kanakan
Dalam menghadapi perlawanan politik dari Prabowo, Jokowi dan kroninya menggunakan strategi yang dinilai naif dan kekanak-kanakan. Salah satunya adalah penyebaran video Jokowi yang naik motor dan menandatangani motor, yang diduga sebagai upaya pengalihan isu. Selain itu, ada pula upaya memanfaatkan KPK untuk menargetkan Hasto Kristiyanto, yang diduga sebagai bentuk kekesalan Jokowi terhadap Megawati yang menolak dirinya tiga periode dan memberhentikannya dari PDIP.
Berbagai upaya ini diduga untuk mengaburkan dugaan keterlibatan Jokowi dalam berbagai skandal, termasuk proyek PSN PIK 2 dan dugaan penyalahgunaan keuangan negara. Selain itu, muncul temuan dari OCCRP yang menyebut Jokowi sebagai pemimpin nomor dua terkorup di dunia. Ini menjadi indikasi kuat adanya pelanggaran luar biasa oleh Jokowi dan keluarganya, yang selama ini dikenal dengan citra sederhana namun kini terbongkar sebagai aktor korupsi kelas dunia.
Saatnya Prabowo Bertindak Tegas
Sebagai Presiden RI, Prabowo tidak boleh terlena dengan apresiasi publik semata. Jika ia benar-benar ingin dikenang dalam sejarah, maka langkah selanjutnya adalah memastikan adanya penegakan hukum yang transparan dan tegas terhadap Jokowi dan keluarganya.
Langkah yang bisa diambil antara lain:
- Mengeluarkan surat perintah presiden kepada Kapolri, Jaksa Agung, dan KPK untuk segera melakukan investigasi hukum terhadap Jokowi, Gibran, Kaesang, dan Bobby Nasution.
- Mengundang para pakar yang profesional dan berintegritas untuk menjadi bagian dari tim investigasi.
- Memastikan proses hukum dilakukan tanpa motif dendam, tetapi berdasarkan prinsip rule of law demi kepastian, manfaat, dan keadilan sesuai konstitusi.
Dengan demikian, Prabowo tidak hanya akan dikenang sebagai Presiden yang berani membatalkan program-program nirmanfaat Jokowi, tetapi juga sebagai pemimpin yang membawa keadilan bagi bangsa. Sebuah langkah nyata untuk memastikan bahwa Republik Indonesia benar-benar adalah negara hukum, bukan negara yang dikuasai oligarki dan nepotisme.