Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Indonesia tampak seolah kekurangan stok perwira tinggi Polri yang andal. Hal ini tercermin dari kebijakan Presiden Jokowi hingga era Presiden Prabowo, yang tetap mempertahankan Listyo Sigit Prasetyo sebagai Kapolri, meski tidak sepenuhnya selaras dengan jargon Polri yang PRESISI.
Padahal, diyakini masih banyak sosok perwira tinggi Polri yang kompeten dan mampu bekerja secara profesional, proporsional, objektif, tanpa keberpihakan, serta akuntabel. Sosok seperti itu diharapkan dapat bekerja keras demi melindungi dan mengayomi masyarakat, menciptakan ketertiban umum, keamanan, dan rasa nyaman, sehingga polisi benar-benar menjadi sahabat masyarakat.
Apakah Prabowo sengaja memberi Listyo Sigit kesempatan untuk membuktikan diri, dengan target perbaikan signifikan dalam 100 hari kerja? Namun, kenyataannya Listyo Sigit kembali gagal menunjukkan perubahan berarti. Pelayanan publik Polri di bawah kepemimpinannya cenderung stagnan atau bahkan memburuk, seperti yang terjadi di era Jokowi.
Kegagalan ini terlihat dari pola kerja yang masih tebang pilih dan cenderung abai terhadap sejumlah laporan publik yang signifikan. Misalnya, laporan masyarakat terkait Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) dan klaim 110 juta big data, dugaan nepotisme Anwar Usman, hingga status tersangka Ketua KPK Firli Bahuri yang tidak diikuti penahanan. Instruksi tegas Presiden terkait pemberantasan judi online juga tak kunjung terealisasi secara serius, meskipun beberapa kelompok aktivis telah menempuh jalur praperadilan.
Kasus terbaru terkait pemagaran laut menjadi bukti lain dari lemahnya respons Polri. Walau Presiden Prabowo sudah memberikan instruksi tegas, tindakan Polri baru dilakukan setelah TNI AL mencabut pagar bambu di lokasi tersebut. Hingga kini, belum ada kejelasan mengenai pelaku utama, meskipun sejumlah pengakuan viral telah muncul di publik. Tragisnya, pejabat Polairud bahkan sempat menyatakan bahwa pihaknya akan bertindak hanya jika ada korban atau laporan resmi.
Analisis hukum atas kasus pemagaran laut ini mengindikasikan kejahatan terorganisir dengan melibatkan mafia oligarki. Dugaan keterlibatan korporasi, pejabat Badan Pertanahan Nasional, aparatur desa, hingga dua jenderal purnawirawan TNI menunjukkan kompleksitas kasus ini. Pemagaran laut yang diduga untuk kepentingan reklamasi bahkan telah memunculkan ratusan sertifikat HGB dan belasan SHM atas wilayah yang seharusnya merupakan laut terbuka.
Kasus ini bukanlah tindak kriminal biasa, tetapi berpotensi mengandung unsur makar. Oleh karena itu, Presiden Prabowo perlu segera mengevaluasi kepemimpinan Listyo Sigit pasca-100 hari kerja. Polri membutuhkan pemimpin baru yang mampu mengembalikan wibawa institusi dan memastikan implementasi nyata slogan PRESISI (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan).
Salah satu figur yang layak dipertimbangkan adalah Wakapolri Komjen Pol. Dr. Ahmad Dofiri. Dengan latar belakang yang mumpuni, jenjang karier yang solid, serta integritas yang teruji, Dofiri dapat menjadi sosok yang dibutuhkan untuk membawa Polri menuju transformasi yang sejati, sesuai dengan harapan bangsa dan negara.