Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Pegiat Media
Jakarta, Fusilatnews – Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan informatika Semuel Abrijani Pangerapan, Kamis (4/7/2024), menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya. Pengunduran diri tersebut merupakan bentuk pertanggungjawabannya sebagai pengelola teknis Pusat Data Nasional (PDN).
Diketahui, pada 20 Juni 2024 lalu PDN Sementara 2 di Surabaya, Jawa Timur, jebol akibat diretas oleh “hacker” yang meminta tebusan Rp131 miliar. Sejumlah layanan publik lumpuh, salah satunya Imigrasi. Ratusan pusat data kementerian, lembaga dan pemerintah daerah tak bisa diakses selama 12 hari.
Data pribadi warga negara Indonesia rawan dicuri. Keamanan siber terbukti rapuh. Pertahanan nasional ternyata juga rapuh.
Tak mau membayar tebusan, ironisnya pemerintah hanya bisa pasrah. Pihak peretas, Brain Cipher, kelompok hacker yang diduga jadi dalang serangan Ransomware LockBit 3.0, akhirnya berbaik hati dengan minta maaf dan menyatakan tidak ada tendensi politik.
Dan ini yang sangat menampar muka pemerintah Indonesia: kunci pembuka retasan akan diberikan. Gratis pula!
Indonesia pun dipermalukan. Namun Presiden Joko Widodo beralibi: negara-negara lain juga mengalami peretasan data.
Tanpa berapologi. Ya, Jokowi tidak meminta maaf kepada publik yang terganggu layanannya akibat peretasan yang tak mampu ditangani itu.
Ibarat guru kencing berdiri murid kencing berlari, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi pun tak mau minta maaf sebagaimana Jokowi. Bahkan pentolan relawan ini masih sempat berucap syukur karena data yang diretas masih utuh di tempatnya, tidak ada yang dicuri.
Budi sekadar menghibur diri. Apa pun keadaannya, tetap berucap syukur. Jatuh dari sepeda karena kakinya tidak lecet-lecet, misalnya, juga tetap berucap syukur.
“Untung ora tatu (untungnya tidak terluka),” demikian sarana penghibur diri atau pelipur lara ala wong Jowo. Pusat data diretas kok bersyukur, “opo tumon”?
Berbagai pihak pun mendesak Budi Arie mundur. Termasuk Safenet yang bahkan sempat membuat petisi agar Menkominfo itu mundur.
Kini, setelah dirjen mundur, pertanyaannya kapan Menkominfo Budi Arie mengambil langkah yang sama sebagai bentuk pertanggungjawaban moral?
Ketua Umum Pro Jokowi atau Projo itu bergeming. Ia mempersilakan rakyat bicara sebagai bagian dari demokrasi.
Jokowi pun setali tiga uang. Menanggapi desakan agar Menkominfo mundur, Jokowi hanya menjawab diplomatis bahwa semua sudah dievaluasi secara menyeluruh. Entah evaluasi menyeluruh semacam apa. Yang jelas, tidak ada evaluasi agar Budi Arie hengkang dari kursinya.
Itulah susahnya di Indonesia yang tak punya tradisi pejabat undur diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral karena kelalaian atau kesalahannya. Berbeda dengan di Jepang yang pejabatnya mudah mundur jika melakukan kesalahan atau tidak melakukan kesalahan tapi ikut bertanggung jawab secara moral atas sebuah kesalahan. Bahkan ada yang “harakiri” (bunuh diri sebagai wujud tanggung jawab moral atas suatu masalah, atau sebagai bentuk patriotisme).
Alih-alih mundur, pihak Budi Arie justru menuduh mereka yang mendesaknya mundur adalah pihak-pihak yang kemarin kalah dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Kok bisa?
Bisa saja. Namanya juga relawan. Namanya juga politisi. Segala sesuatu bisa mereka politisasi. Termasuk desakan mundur terhadap Budi Arie yang sesungguhnya berada di wilayah teknis dan moral, bukan wilayah politik.
Masak menteri kalah dengan dirjen yang berani mundur sebagai bentuk tanggung jawab moral? Salut untuk Semmy Pangerapan!
“Planga-plongo”
Menteri adalah jabatan politik yang tak perlu keahlian teknis. Betul.
Menteri adalah semacam manajer yang hanya perlu kemampuan mengelola sumber daya manusia di bawahnya yang harus memenuhi syarat “the right man on the right place”. Betul.
Menteri adalah semacam dirijen dalam sebuah orkestra yang hanya perlu kemampuan untuk mengorkestrasi para pemusiknya sehingga musiknya terdengar merdu. Betul.
Tetapi tidak begitu-begitu amat barangkali. Persoalannya, menteri yang ada kemampuanya di bawah standar atau tidak?
Lihat saja sikapnya saat merespons peretasan PDN. Ia terkesan ‘planga-plongo”, meminjam istilah Fadli Zon. Tidak tahu apa yang seharusnya dia lakukan.
Perlukah menteri “planga-plongo” ini dipertahankan?
Jangan-jangan yang mempertahankan adalah orang yang “planga-plongo” juga, lagi-lagi meminjam istilah Fadli Zon.