FusilatNews – Rakyat adalah entitas yang sering disalahkan dalam banyak hal, dari kegaduhan sosial hingga kondisi ekonomi yang memburuk. Namun, apakah benar rakyat yang menjadi akar masalah? Ataukah justru mereka yang berkuasa yang menciptakan ketidakadilan, memanipulasi hukum, dan menyalahgunakan amanah yang diberikan?
Teori Social Contract dari Jean-Jacques Rousseau dapat menjadi relevan dalam konteks ini. Rousseau berpendapat bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin berasal dari kehendak rakyat, dan pemimpin harus bertindak demi kepentingan umum. Namun, ketika kekuasaan disalahgunakan dan tidak lagi mencerminkan kepentingan rakyat, maka legitimasi pemerintahan tersebut patut dipertanyakan.
Rakyat tidak pernah korupsi uang negara. Mereka tidak memiliki akses terhadap anggaran negara, tidak memiliki wewenang atas proyek-proyek pembangunan, dan tidak memiliki kuasa untuk mengatur kebijakan fiskal. Rakyat hanyalah pihak yang bekerja keras untuk hidup, membayar pajak dengan disiplin, dan tetap berjuang meski kesejahteraan sering kali tak kunjung datang. Jika ada uang negara yang raib, siapa yang bertanggung jawab? Bukan rakyat, melainkan mereka yang duduk di kursi kekuasaan, yang sering kali menggunakan jabatan untuk memperkaya diri sendiri.
Rakyat tidak membuat gaduh dengan pelanggaran hukum atau tindak pidana korupsi. Justru para pejabat yang kerap mencoreng keadilan dengan berbagai skandal. Mulai dari kasus suap, penggelapan dana publik, hingga proyek mangkrak yang merugikan negara. Rakyat hanya gaduh ketika melihat kezaliman dibiarkan, ketika hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, ketika keadilan hanya menjadi jargon tanpa implementasi nyata.
Dalam perspektif teori Elite Theory yang dikemukakan oleh C. Wright Mills, negara sering kali dikendalikan oleh sekelompok elite yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi. Elite ini menggunakan kekuasaan mereka untuk menjaga kepentingan sendiri, sering kali dengan mengorbankan kesejahteraan rakyat. Hal ini menjelaskan mengapa rakyat harus terus mengawasi dan menuntut akuntabilitas dari pemimpin mereka.
Rakyat tidak merusak lingkungan. Mereka tidak menebang hutan secara serampangan, tidak memagari laut demi kepentingan pribadi, dan tidak mengizinkan limbah industri mencemari sungai. Justru yang merusak lingkungan adalah para pemangku kebijakan yang memberi izin eksploitasi tanpa memperhatikan dampaknya. Demi keuntungan segelintir orang, hutan dibabat habis, tambang dikelola tanpa tanggung jawab, dan laut dirusak atas nama pembangunan.
Jika rakyat bersuara, itu bukan karena mereka ingin mengacaukan negara. Mereka hanya ingin negeri ini menjadi lebih baik. Mereka mendambakan pemimpin yang tidak korup, yang bekerja dengan jujur, dan yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan. Mereka ingin negara ini dipimpin oleh orang-orang yang benar-benar amanah, bukan oleh mereka yang lihai memainkan kata-kata sementara tindakan mereka jauh dari nilai moral dan etika.
Rakyat tidak pernah menunggak pajak, karena mereka tahu bahwa setiap rupiah yang mereka setorkan adalah kontribusi untuk pembangunan negeri. Namun, ironisnya, uang pajak yang mereka bayar sering kali tidak digunakan untuk kepentingan umum, melainkan menjadi santapan empuk bagi segelintir elite yang rakus. Rakyat juga tidak berdusta. Mereka tidak memberikan janji palsu saat kampanye, tidak menebar harapan kosong, dan tidak bermain drama di panggung politik. Rakyat hanya ingin hidup dengan layak, ingin dipimpin oleh orang yang benar-benar memikirkan kesejahteraan mereka.
Jadi, jika ada yang harus bercermin, bukanlah rakyat. Yang harus merenungkan kembali tindakannya adalah mereka yang berada di puncak kekuasaan, yang memiliki kendali atas kebijakan, dan yang selama ini menikmati segala fasilitas negara tanpa memahami betul amanah yang mereka emban. Rakyat bukanlah beban negara—justru rakyatlah yang selalu menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak pada mereka.