SANDIAGA LUPA KECERDASAN DIRI
Beberapa hari setelah Bom Bali, saya penasaran ingin tahu, seperti apa situasi Bali. Lalu saya pergi ke Bali, sambil menemui konsultan saya dari Australia, Prof Hogan, yg sedang bertugas di Bali. Terkejut sekali. Pantai Kuta sepi, seperti pantai Gold Coast di Australia. Taka ada hingar bingar. Hotel-hotel berbintang, seperti rumah hantu, tidak ada penghuninya. Tabuh gamelan kayu dan tiup suling yg mendayu-dayu Bali, yang biasa menyambut kedatangan tamu di hotel-hotel, pun menghilang. Walau sesekali yang terdengar adalah nyanyian sunyi kelompok kecil burung-burung liar.
Jerit dan rintih dari para pengusaha dan masyarakat di Bali, mulai menggema keseantero Nusantara. Usaha-usaha mereka terpuruk, karena tak ada tourist-tourist itu. Saat itu yang sedang booming, adalah wisatawan-wisatawan dari Australia dan Jepang. Bagi kedua bangsa itu, Bali adalah trend wisata yang popular dan membanggakan.
Pesan terpuruk dari masyarakat dunia usaha di Bali itu, ditangkap oleh saudara-saudaranya di luar Bali, lalu bermai-ramailah turis domestic datang berkunjung ke Bali, hingga sedikit demi sedikit, akhirnya industri parawisata di Bali, menggeliat kembali. Situasi seperti itu, mengubah sikap masyarakat Bali, dari asalnya menganggap pelancong local itu, kelas kedua, menjadi sejajar dengan turis-turis Bule.
Dalam perjalanan, saya mendengar di Radio Elshinta, yang meliput detik-detik pesawat landing di Bali, membawa 12 orang turis dari Jepang. Saya akag terkejut saat itu. Apa iya orang Jepang nekad, mau pergi ke Bali, saat pandemic ini?
Rupanya, benar. Lalu saya membaca berita ini:
Kedatangan turis asing di Bali ternyata sebagian dibiayai oleh pemerintah dalam hal ini Kemenparekraf dan berbagai perusahaan lain. Turis-turis itu diharapkan menjadi ‘corong’ untuk memperlihatkan kondisi wisata di Indonesia.
Menurut Menparekraf Sandiaga Uno, kedatangan turis asing yang berasal dari Jepang sebanyak 6 orang pada Kamis 3 Februari 2022 dengan penerbangan perdana GA881 NRT-DPS, merupakan kolaborasi Kemenparekraf, Garuda Indonesia, BTB, Grand Hyatt, Four Season serta dukungan Pemda Bali, Kementerian/Lembaga terkait dan TNI/Polri.
Menjadi aneh, hingga sempat saya “ngahuleng” (termenung), membaca berita itu. Apa iya, saat saat omicron sedang memuncak, lalu langkah Sandiaga Uno seperti itu? Dan hasilnya memang dalam satu pesawat hanya ada 6 orang, tourist.
Mengapa tidak mendorong wisatawan domestic, yang luar biasa besar potensinya? Atau karena PPKM sedang diterapkan secara ketat di Tanah Air?
Absurditas seperti ini, sering kali terjadi dalam berbagai kebijakan, terutama saat regime berkuasa ini.