Wartawan Pokja Medsos, Apa Kabar Dewan Pers?
ISTILAH wartawan pokja (kelompok kerja) sudah lama dikenal, merujuk pada wartawan yang ditugaskan di instansi, lembaga, atau perusahaan. Maka, misalnya ada wartawan pokja Gedong Sate, wartawan yang sehari-hari meliput kegiatan Gubernur Jawa Barat; wartawan pokja Polda, wartawan pokja PT KAI, dan sebagainya.
Dibentuknya wartawan pokja untuk memudahkan dalam mengkoordinir wartawan jika ada kegiatan. Tinggal memberi tahu ketua pokja, maka wartawan akan datang untuk meliput. Wartawan pokja sering diajak ikut jika instansi mengadakan kunjungan ke daerah, misalnya ikut dengan gubernur.
Di tingkat Nasional, zaman Presiden Soeharto, wartawan pokja Istana Negara sering diajak pergi ke luar negeri. Bahkan Presiden Soeharto kerap jumpa pres di pesawat dengan pemilihan waktu yang tidak mepet pada deadline koran cetak harian. Hal itu dilakukan agar wartawan atau redaktur bisa mencari bahan lain untuk melengkapi beritanya.
Di zaman majunya teknologi informasi seperti sekarang ini wartawan pokja masih dipertahankan. Humas memberi tahu kegiatan lebih mudah, melalui aplikasi perpesanan, demikian juga membagikan pres realisnya. Meski sudah ada press realisnya, wartawan pokja tetap selalu menghadiri kegiatan, untuk mencari angle pemberitaan.
Belakangan semua instansi pemerintah, dari tingkat pusat hingga daerah mempunyai portal sendiri. Perusahaan swasta, BUMN, juga memiliki portal, sehingga kegiatan termasuk press realis dimuat portalnya sendiri-sendiri. Wartawan tinggal mengolahnya berdasarkan pemilihan angle yang kira-kira menarik perhatain pembaca.
Akan tetapi press realis seringkali tidak mencukupi untuk memenuhi kelengkapan sebuah berita. Misalnya ada portal pemerintah daerah yang memuat press realis wali kota membantu para pedagang kaki lima, namun tidak dijelaskan bantuannya berupa apa, berapa pedagang kaki lima yang menerima bantuan.
Kelemahan lainnya, wartawan tidak bisa mengorek tentang kegiatan tersebut, baik itu melalui bertanya pada narasumber yang bersangkutan, maupun melihat fakta di lapangan. Bila pun dipaksakan dimuat, beritanya kering dan sepihak, dan kental kepentingan pembuat press realis, bukan untuk kepentingan pembaca.
Sesungguhnya bagi wartawan, press realis hanyalah informasi awal, nanti wartawan menulis beritanya dilengkapi berdasarkan penemuan di lapangan atau hasil wawancara pendalaman. Terkadang, beritanya jauh dari dari keinginan pembuat kegiatan, yang diberitakan bukan tentang kegiatan tersebut.
Berkembangnya media sosial (medsos), instansi, baik pemerintah maupun swasta sering juga menyebarluaskan kegiatannya melalui medsos, instagram, facebook, tweeter, dan youtube. Sumber-sumber berita, seperti tokoh politik, pengamat, selebriti juga memanfaatkan media sosial untuk mengemukakan pemikiran dan kegiatannya.
Wartawan tidak akan kekurangan berita, tinggal duduk manis di depan laptop, PC, bahkan cuma buka-buka hp. Tanpa harus berpanas-panas berhujan-hujan ke lapangan, tanpa harus susah payah menemui narasumber, seorang wartawan bisa membuat berita sebanyak-banyaknya dalam sehari. Termasuk berita aktual.
Sebuah portal yang tidak mempunyai wartawan di Purworejo, bisa menurunkan berita kejadian di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Caranya, wartawan buka-buka medsos, cari komentar tokoh publik, terus dijadikan berita yang dilengkapi dengan kejadian di Wadas.
Berita Wadas yang diambil dari portal lain, biasnya lebih dari satu portal, diolah lagi, diramu lagi, ditulis ulang (rewrite) dengan gaya bahasanya sendiri, dan tidak ada kutipan langsung, bahkan tidak menyebut nara sumber di tempat kejadian. Berita ditayangkan tanpa mencantumkan sumber beritanya.
Google sejauh ini tidak mengindahkan apakah sebuah berita hasil (tulisan ulang) atau benar-benar hasil liputan penulisnya sendiri. Google juga tidak berpedoman pada Undang-undang (UU) No. 40 Tahun 1999. tentang Pers, juga tidak berpedoman Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Bagi Google yang penting tulisan bukan kopi paste.
Sama halnya berita selebriti. Seorang wartawan pokja medsos (merujuk pada kegiatan seseorang yang menulis berita yang hanya bersumber pada media sosial) yang tinggal di pelosok desa di Kabupaten Tasikmalaya, misalnya, bisa menulis berita selebriti yang tinggal di Jakarta hanya dengan melihat akun medos selebriti tersebut.
Seiring dengan menjamurnya portal berita online, wartawan pokja medsos semakin banyak dan menjadi mesin yang memproduksi berita sebanyak-sebanyak, tapi itu untuk kepentingan Google. Agar bertengger manis di Google. Semakin berkenan di hati Google, maka penghasilan pun akan semakin meningkat.
Apakah seseorang yang bekerja seperti itu bisa digolongkan sebagai wartawan? Apakah tulisannya bisa digolongkan produk jurnalistik? Istilah content creator, orang yang berkreasi untuk membuat materi (content), termasuk tulisan, pun disematkan pada wartawan pokja medsos ini.
Dikutip dari Harian Pikiran Rakyat edisi (08/02/2022), pakar Komunikasi dari Univeritas Islam Bandung (Unisba), Septiawan Santana Kurnia, mengatakan sebuah konten (video dan tulisan), bisa disebut produk jurnalistik, dengan kata lain hasil tulisan wartawan, setidaknya harus mengandung tiga syarat utama.
Ketiga syarat utama yang harus dipenuhi seorang wartawan tersebut: menyajikan fakta yang kuat hasil klarifikasi dan konfirmasi, diproduksi dengan mentaati Kode Etik Jurnalistik, serta dimuat di lembaga media. Menurut Septiawan jika seorang konten kreator tidak bisa memenuhi tiga syarat itu bukan seorang wartawan.
Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik disebutkan Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pada Point 2 dikatakan: Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; dan pada Point 7: tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri.
Pada Pasal 3 di disebutkan Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Pada point 1, dijelaskan: Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
Dewan Pers seyogyanya segera turun tangan, untuk meredam keresahan wartawan yang benar-benar mentaati Kode Etik Jurnalistik, wartawan yang benar-benar menjalankan profesinya. Ini agar terwujud, seperti judul buku yang diterbitkan oleh Dewan Pers pada tahun 2013, Pers Berkualitas, Masyarakat Cerdas. *** Didi NS