Yus Dharman, S.H., M.M., M.Kn
Advokat / Ketua Dewan Pengawas FAPRI (Forum Advokat & Pengacara Republik Indonesia)
Jakarta, 23 Oktober 2025 – Pendirian Super Holding Danantara di Indonesia menggunakan aset-aset perusahaan BUMN, di mana sekitar 50% di antaranya sedang “sakit parah”. Kondisi ini berbeda jauh dengan pendirian super holding seperti Temasek (Singapura), Khazanah (Malaysia), atau CIC (Tiongkok), yang berbasis pada dana tunai (cash fund), bukan aset.
Karena basis permodalan Danantara adalah aset, maka untuk memperoleh dana tunai Danantara harus melibatkan pihak ketiga atau investor guna mendukung pembiayaan proyek-proyek strategis. Seharusnya, Danantara mengawali langkahnya dengan melakukan road show untuk fund raising di pasar-pasar keuangan dunia—seperti Singapura, Hong Kong, London, dan New York—sekaligus menguji minat investor global terhadap Danantara.
Apabila dari road show tersebut banyak investor asing yang berminat, silakan dilanjutkan. Namun bila sebaliknya, lebih baik dihentikan. Tidak perlu malu, karena lebih baik berhati-hati ketimbang justru menimbulkan risiko baru. Alih-alih ingin membantu Presiden Prabowo memulihkan kondisi ekonomi yang sedang “demam”, langkah tergesa-gesa malah berpotensi menciptakan krisis ekonomi baru.
Kini, di tengah jalan, model bisnis Danantara tiba-tiba berubah menjadi liquidity provider di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ini sangat berisiko—karena yang berpotensi menjadi korban justru para investor ritel. Rasanya tidak mungkin lembaga besar seperti hedge fund Bridgewater atau BlackRock mau menanamkan modal pada struktur bisnis yang tidak jelas dan berubah-ubah.
Perubahan arah bisnis yang tidak konsisten akan menimbulkan persepsi negatif di kalangan investor besar, bahkan dapat menimbulkan kecurigaan bahwa Danantara akan bernasib seperti kasus Benny Tjokro dkk.—yakni praktik insider trading dan permainan harga (goreng-menggoreng saham).
Sebagai liquidity provider di BEI, Danantara sesungguhnya sedang “bermain di tepi jurang”. Perannya mengharuskan perusahaan aktif melakukan bid dan offer di pasar, yang berarti menghadapi risiko keuangan dan volatilitas harga yang tinggi. Fluktuasi harga saham yang tajam dapat menimbulkan kerugian apabila spread harga tidak mampu menutupi biaya operasional dan risiko posisi pasar yang diambil—yang pada akhirnya dapat menggerus keuntungan jangka pendek Danantara.
Selain itu, peran liquidity provider kerap menciptakan ketergantungan investor terhadap intervensi Danantara, yang berpotensi menimbulkan moral hazard. Jika Danantara menarik diri atau mengurangi aktivitasnya, pasar bisa kehilangan likuiditas secara drastis.
Kedekatan pimpinan Danantara dengan penguasa dan politisi yang memiliki peran ganda sebagai regulator sekaligus eksekutor juga menimbulkan potensi konflik kepentingan yang besar. Terlebih, adanya aturan yang membebaskan pengurus maupun pengawas Danantara dari tanggung jawab bila terjadi kerugian akibat salah investasi menambah keraguan publik dan investor. Bagaimana mungkin masyarakat percaya jika risiko ditanggung negara sementara pengurus bebas dari tanggung jawab?
Danantara wajib mematuhi ketentuan ketat sesuai POJK No. 18/2024 serta regulasi BEI terkait tata kelola, sistem operasional, manajemen risiko, dan keterbukaan informasi. Ketidakpatuhan terhadap aturan-aturan ini dapat mengakibatkan sanksi dan merusak reputasi—bukan hanya bagi Danantara, tetapi juga bagi BEI dan pada akhirnya bagi pemerintahan Presiden Prabowo sendiri.
Sebagai liquidity provider, Danantara harus membangun infrastruktur teknologi yang andal serta sistem manajemen risiko yang canggih untuk menjamin keberlanjutan kuotasi dan eksekusi transaksi harian. Gangguan infrastruktur atau kesalahan operasional bisa menyebabkan kerugian besar.
Lebih dari itu, karena Danantara menggunakan dana publik—terutama dividen BUMN, termasuk dana masyarakat di bank-bank Himbara yang menjadi anak usaha Danantara—perannya sebagai liquidity provider tergolong sangat berisiko tinggi.
Agar Danantara Berhasil Menjadi Super Holding:
Beberapa langkah penting perlu ditempuh berdasarkan praktik terbaik dari super holding dunia dan kajian para ahli:
- Profesionalisme dan Tata Kelola Tinggi
Danantara harus dikelola secara profesional, dengan standar tata kelola yang tinggi dan bebas dari intervensi politik. - Manajemen Independen dan Transparan
Pimpinan Danantara harus independen dan menerapkan prinsip transparansi serta akuntabilitas agar mendapat kepercayaan publik dan investor. - Penyederhanaan Struktur Organisasi
Birokrasi yang berlapis harus dihapus untuk mempercepat pengambilan keputusan, meningkatkan efisiensi, dan memaksimalkan nilai tambah melalui sinergi antar-BUMN di bawah Danantara. - Perencanaan dan Kajian Mendalam
Setiap langkah transformasi perlu perencanaan matang serta kajian risiko, potensi sinergi, dan struktur bisnis terbaik sesuai konteks Indonesia. - Kerangka Hukum yang Kuat
Diperlukan dasar hukum yang jelas agar operasional Danantara berjalan sesuai aturan dan tidak tumpang tindih dengan otoritas lain. - Pengawasan dan Evaluasi Berkala
Harus ada mekanisme kontrol dan evaluasi rutin untuk memastikan tujuan strategis tercapai dan melakukan penyesuaian bila diperlukan. - Komunikasi dan Keterlibatan Pemangku Kepentingan
Transformasi Danantara wajib melibatkan stakeholders—termasuk pekerja BUMN, masyarakat, dan investor—guna membangun dukungan luas dan mengurangi resistensi. - Fokus pada Kompetensi Inti (Core Competence)
Danantara sebaiknya fokus pada kekuatan inti masing-masing BUMN, sementara BUMN strategis yang berfungsi sebagai penyedia layanan publik sebaiknya tetap mandiri tanpa intervensi berlebihan.
Dengan penerapan prinsip-prinsip tersebut, Danantara berpotensi menjadi super holding yang efektif, lincah, dan berdaya saing internasional—setara dengan Temasek di Singapura, Khazanah di Malaysia, dan CIC di Tiongkok.
Yus Dharman, S.H., M.M., M.Kn






















