Oleh: Ir Suharto Wongsosoemarto MM, Kader PDIP
Jakarta – Jumat (10/1/2025) kemarin, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggelar acara peringatan hari ulang tahun ke-52.
PDIP merupakan metamorfosis dari PDI yang lahir pada 10 Januari 1973. Adapun PDI merupakan penggabungan atau fusi dari lima partai politik, yang terdiri dari tiga parpol nasionalis, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan dua partai keagamaan, yakni Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik.
Selama era Reformasi, PDIP sudah empat kali menjadi jawara pemilihan umum, yakni Pemilu 1999, Pemilu 2014, Pemilu 2019 dan Pemilu 2024.
Apakah pada Pemilu 2029 parpol berlambang kepala banteng dalam lingkaran ini akan kembali menjadi jawara? Kita optimistis. Syaratnya, PDIP harus bisa melawati badai yang kini sedang mengempas keras.
Apakah PDIP kali ini akan mampu mengatasi badai yang mengempas keras?
Jika dilihat dari “track records” atau rekam jejaknya, PDIP diyakini akan mampu mengatasi segala rintangan yang mengadangnya.
PDIP adalah parpol yang lahir berkat elan kejuangan seluruh kader dan pemimpinnya yang tinggi. Lahirnya PDIP dilatari oleh tragedi Kudatuli atau Kerusuhan 27 Juli 1996.
Tragedi Kudatuli itulah puncak perlakuan zalim rezim Orde Baru kepada PDI yang kemudian bermatomorfosis menjadi PDIP pada 1999 setelah berhasil mendobrak tembok rezim dan melahirkan Reformasi 1998 bersama mahasiswa dan elemen masyarakat pro-demokrasi lainnya.
Semenjak “dikuyo-kuyo” yang kemudian melahirkan Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya, Jawa Timur, tahun 1993, Ibu Megawati Soekarnoputri yang saat itu didapuk menjadi Ketua Umum PDIP selalu taat hukum dan taat asas dalam melakukan perlawanan terhadap rezim Orde Baru.
Taat hukum dengan menjunjung tinggi supremasi hukum, dan taat asas dengan menjunjung tinggi Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Saat dizalimi pada Sidang MPR 1999, di mana Ketua Umum PDIP Ibu Megawati Soekarnoputri yang merupakan pemenang pemilu tidak dipilih menjadi Presiden RI, putri sulung Proklamator Bung Karno itu juga tetap konsisten atau istikamah taat hukum dan taat asas. Padahal, saat itu massa di tingkat “grass roots” (akar rumput) siap turun ke jalan. Bahkan sudah banyak yang membubuhkan cap jempol darah.
Setelah 10 tahun puasa kekuasaan dengan menjadi semacam oposisi pada era pemerintahan dua periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2002-2009 dan 2009-2014), PDIP kembali menjadi jawara pemilu pada 2014.
Kunci dari kemenangan PDIP pada 1999 dan 2014 adalah adanya “common enemy” atau musuh bersama yang menjadikan PDIP sangat solid.
Kini, ketika kembali dizalimi dengan dikhianati oleh sejumlah kadernya sendiri, PDIP dan Ibu Megawati juga tetap istikamah taat hukum dan taat asas.
Tapi ketika ada mantan kader yang mendesak Ibu Megawati mundur dari jabatan Ketua Umum PDIP, kader-kader di akar rumput pun siap membubuhkan cap jempol darah untuk membela PDIP dan Ibu Megawati. Kader-kader PDIP dari Surabaya dan DI Yogyakarta, misalnya.
Bahkan, Presiden ke-5 RI itu bukan hanya hendak dipertahankan sebagai Ketua Umum, tapi juga dicalonkan kembali sebagai Ketua Umum PDIP periode 2025-2030 pada Kongres VI PDIP, April nanti.
De Jure dan De Facto
Ada dua pertimbangan mengapa Ibu Megawati dicalonkan kembali sebagai ketua umum. Pertama adalah pertimbangan “de jure” atau berdasarkan aturan. Kedua adalah pertimbangan “de facto” atau berdasarkan fakta, realita atau kenyataan.
Secara de jure, Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP V yang digelar di Ancol, Jakarta Utara, 24-26 Mei 2024 telah merekomendasikan Ibu Megawati sebagai Ketua Umum PDIP 2025-2030.
Rakernas diikuti seluruh pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dari seluruh Indonesia yang juga merupakan pemilik suara dalam Kongres PDIP VI yang akan diselenggarakan pada April 2025 mendatang.
Artinya, secara de jure Kongres VI PDIP tinggal ketok palu menetapkan Ibu Megawati sebagai Ketua Umum PDIP periode 2025-2030.
Adapun secara de facto, tak dapat dipungkiri bahwa Ibu Megawati hingga saat ini masih menjadi sosok pemersatu PDIP. Beliau ibarat tali pengikat bagi sapu lidi. Jika tali itu putus, maka lidi bisa berserakan. Jangan sampai kader-kader PDIP ibarat anak-anak ayam yang kehilangan induknya.
Secara faktual, PDIP juga masih membutuhkan kepemimpinan yang berintegritas dan berkarakter seperti Ibu Megawati yang taat hukum, taat asas, pantang menyerah, dan berani melawan kezaliman, sehingga disegani kawan maupun lawan.
Tak kurang dari Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla yang memberikan testimoni ihwal taat hukum dan taat asasnya Ibu Megawati.
Pada Pilpres 2004, kata JK, Ibu Megawati tidak menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi alat-alat negara demi kemenangannya sebagai petahana. Padahal saat itu Ibu Megawati masih menjabat Presiden sehingga punya kesempatan untuk melakukannya.
Kini, seluruh kader dan pengurus DPP, DPD dan DPC pun akan taat hukum dan taat asas dengan melaksanakan rekomendasi Rakernas V PDIP, yakni memilih Ibu Megawati sebagai Ketua Umum PDIP periode 2025-2030.
Karakter sebagai pejuang tak kenal lelah dan menyerah seperti yang dimiliki Ibu Megawati masih dibutuhkan pada kepemimpinan puncak PDIP dalam menghadapi tantangan yang kian kompleks, baik internal maupun eksternal.
Eksternal, dalam hari-hari ini adalah menghadapi musuh bersama pihak-pihak tertentu yang hendak merongrong PDIP dengan nendesak Ibu Megawati mundur dari posisi ketua umum. Upaya itu harus kita lawan. Soliditas internal adalah harga mati. Sebelum cap jempol darah benar-benar dilakukan dan mewabah ke seluruh Indonesia.
Selamatkan Banteng Ketaton (terluka) dari luka yang lebih dalam. Perkuat soliditas. Tolak desakan agar Ibu Megawati mundur. Cap jempol darah kita siapkan. Dirgahayu PDI Perjuangan!