Dalam kepemimpinan, ada dua kutub yang saling bertentangan dalam memandang rakyat: sebagai subjek yang dihormati dan dilayani atau sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Kontras ini terlihat jelas dalam perbandingan antara Perdana Menteri Jepang dan Presiden Indonesia, Joko Widodo.
Perdana Menteri Jepang, ketika berkunjung ke desa-desa, menunjukkan sikap rendah hati dengan membungkukkan kepala dan badan sebagai tanda penghormatan kepada rakyatnya. Ketika berbicara langsung dengan warga, ia duduk lebih rendah, menunjukkan bahwa pemimpin adalah pelayan bagi masyarakat, bukan penguasa yang harus diagungkan. Prinsip kepemimpinannya berorientasi pada perlindungan dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Sebaliknya, Joko Widodo memperlakukan rakyat lebih sebagai alat politik daripada subjek yang harus dihormati. Dalam berbagai kesempatan, pemberian bantuan sosial sering kali dilakukan dengan cara yang merendahkan martabat rakyat, seperti melempar hadiah kepada mereka. Bantuan sosial yang seharusnya menjadi hak rakyat, sering kali hanya diberikan menjelang pemilihan umum, menjadi alat untuk mendapatkan dukungan politik, bukan bagian dari kebijakan jangka panjang untuk kesejahteraan.
Lebih dari itu, kebijakan-kebijakan Jokowi menunjukkan keberpihakan kepada oligarki ketimbang rakyat. Tanah negara dikavling untuk kepentingan para elite, dengan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada segelintir pengusaha. Laut yang seharusnya menjadi sumber daya bersama kini berpagar, dikapling untuk kepentingan korporasi. Bahkan, hutan yang merupakan paru-paru bangsa disertifikasi untuk diberikan kepada kelompok bisnis besar. Kepemimpinan yang seharusnya melindungi rakyat justru melanggengkan kesenjangan dan memperburuk eksploitasi sumber daya alam oleh segelintir orang.
Kontradiksi ini menunjukkan perbedaan mendasar dalam konsep kepemimpinan. Di Jepang, pemimpin adalah bagian dari rakyat dan bekerja untuk melindungi mereka. Di Indonesia, pemimpin justru berdiri di atas rakyat, menggunakan mereka sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan memperkaya lingkaran oligarki. Kepemimpinan sejati bukan tentang membangun citra, tetapi tentang memberikan manfaat nyata bagi rakyat tanpa pamrih dan kepentingan politik sesaat.