Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, harapan besar bangsa ini adalah menciptakan sebuah negara yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Namun, kenyataannya, perjalanan bangsa ini selalu dihadapkan pada persoalan sistem yang buruk. Sistem yang seharusnya menjadi fondasi untuk mengatur tata kelola negara justru menjadi akar dari berbagai masalah mendasar yang terus terjadi hingga hari ini. Salah satu buktinya adalah munculnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden selama dua periode, meskipun kinerjanya dinilai tidak layak untuk memimpin negara sebesar Indonesia.
Sistem Politik yang Chaos dan Berorientasi Kekuasaan
Salah satu aspek yang paling terlihat dari buruknya sistem di Indonesia adalah kondisi politik yang kacau balau. Partai-partai politik yang seharusnya berlandaskan ideologi dan kepentingan rakyat malah lebih sering berkoalisi berdasarkan orientasi kekuasaan semata. Koalisi partai tidak didasarkan pada visi misi yang jelas untuk membangun bangsa, melainkan lebih kepada bagaimana membagi kekuasaan dan mendapatkan jabatan strategis. Hal ini menciptakan situasi politik yang tidak stabil, di mana keputusan-keputusan besar kerap diambil bukan berdasarkan kepentingan nasional, tetapi demi kepentingan kelompok politik tertentu.
Selain itu, biaya politik yang sangat mahal semakin memperparah kondisi ini. Untuk maju sebagai calon presiden, gubernur, atau bahkan anggota legislatif, seseorang harus memiliki modal politik yang besar. Fenomena ini menciptakan potensi besar untuk korupsi, di mana setelah terpilih, para pejabat politik cenderung menggunakan kekuasaannya untuk mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan, alih-alih berfokus pada pengabdian kepada rakyat.
Terpuruknya Demokrasi dan Ekonomi
Kualitas demokrasi Indonesia pun semakin merosot. Demokrasi yang seharusnya menjadi mekanisme untuk menyeimbangkan kekuasaan justru semakin kehilangan substansinya. Rakyat tidak lagi mendapatkan pilihan yang berkualitas, karena sistem politik yang ada tidak memberi ruang bagi para pemimpin yang benar-benar kompeten dan berintegritas. Fenomena terpilihnya Jokowi sebagai presiden dua kali adalah salah satu contoh bagaimana sistem ini gagal. Meskipun banyak kritik mengenai kepemimpinannya, ia tetap bisa terpilih kembali, karena sistem yang ada tidak memberikan alternatif yang lebih baik kepada rakyat.
Sistem ekonomi Indonesia juga tidak pernah berhasil tumbuh di atas 5%, yang merupakan batas minimal untuk mencapai kesejahteraan yang lebih merata. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan yang sering kali tidak berpihak pada rakyat kecil. Impor yang tidak terkendali telah merusak tatanan ekonomi rakyat, terutama sektor pertanian dan industri kecil yang semakin terpuruk karena harus bersaing dengan produk impor yang lebih murah. Ekonomi tidak berkembang, sementara kemiskinan terus membengkak. Akibatnya, kualitas hidup masyarakat Indonesia tetap berada di bawah standar negara-negara ASEAN lainnya.
Kualitas SDM Terendah di Kawasan ASEAN
Sistem pendidikan Indonesia yang tidak terarah menjadi faktor penting mengapa kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia berada di posisi terendah di kawasan ASEAN. Bukannya memperbaiki sistem pendidikan, pemerintah justru sibuk mengutak-atik kebijakan pendidikan yang tidak substantif. Hasilnya, Indonesia tertinggal jauh dalam hal inovasi, teknologi, dan keterampilan. Generasi mudanya tidak dibekali dengan kemampuan yang cukup untuk bersaing di pasar global.
Korupsi dan Penegakan Hukum yang Runtuh
Korupsi di Indonesia sudah menjadi masalah sistemik yang sulit diatasi. Ketika sistem politik dan birokrasi dijalankan dengan orientasi kekuasaan dan keuntungan pribadi, maka korupsi menjadi sebuah keniscayaan. Bahkan, dalam beberapa kasus, penegakan hukum yang seharusnya menjadi pilar keadilan justru semakin hancur di bawah kepemimpinan Jokowi. Intervensi terhadap lembaga-lembaga hukum seperti KPK dan peran Presiden dalam melemahkan pemberantasan korupsi semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum negara ini.
Presiden Jokowi sendiri tidak luput dari kritik terkait perannya dalam merusak sistem hukum di Indonesia. Beberapa keputusan yang diambil di masa pemerintahannya telah memperlemah fungsi lembaga-lembaga hukum, baik dalam konteks korupsi maupun penegakan hukum lainnya. Penurunan integritas sistem hukum ini memberikan ruang yang lebih besar bagi para pelaku korupsi dan penjahat kelas kakap untuk lolos dari jerat hukum.
Nepotisme: Dari Ayah ke Anak
Lebih buruk lagi, sistem yang rusak ini tidak hanya memungkinkan Jokowi, yang dinilai tidak layak, untuk berkuasa selama dua periode, tetapi juga membuka jalan bagi anaknya, Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi Wakil Presiden di periode berikutnya. Fenomena ini adalah produk dari nepotisme, di mana Gibran, yang lebih tak layak dibandingkan ayahnya, bisa menempati posisi penting di pemerintahan. Padahal, rekam jejak dan kapasitas Gibran belum terbukti memadai untuk menduduki jabatan setinggi itu. Hal ini menunjukkan bahwa sistem yang buruk tidak hanya memungkinkan pemimpin yang tidak kompeten untuk berkuasa, tetapi juga memperkuat dominasi keluarga dalam politik, yang pada akhirnya mengikis demokrasi dan menurunkan kualitas kepemimpinan nasional.
Refleksi dari Dua Periode Jokowi
Kepemimpinan Jokowi selama dua periode merupakan refleksi nyata dari bagaimana sistem yang buruk memungkinkan seorang presiden yang dianggap tidak layak untuk berkuasa selama sepuluh tahun. Kegagalan sistem ini terlihat jelas dalam ketidakmampuan pemerintah menangani persoalan-persoalan fundamental seperti ketidakadilan sosial, kemiskinan, korupsi, dan penegakan hukum. Dalam hal ini, Jokowi bukanlah satu-satunya masalah, tetapi simbol dari kegagalan sistemik yang lebih luas, yang sudah mengakar sejak awal kemerdekaan.
Kesimpulan
Sistem yang buruk adalah akar dari segala persoalan bangsa ini. Mulai dari politik yang chaos, ekonomi yang tidak berkembang, hingga korupsi yang merajalela, semuanya bermuara pada sistem yang gagal membangun fondasi yang kuat bagi negara. Sistem ini tidak hanya memungkinkan seorang presiden yang dianggap tidak layak untuk berkuasa selama dua periode, tetapi juga merusak demokrasi dengan memperkuat dinasti politik melalui nepotisme. Kehadiran Gibran sebagai Wakil Presiden di periode berikutnya adalah bukti nyata bahwa sistem ini tidak memberikan ruang bagi perubahan, tetapi malah memperkuat kekuasaan keluarga. Perbaikan sistem harus menjadi prioritas utama jika bangsa ini ingin lepas dari jeratan keterpurukan dan mencapai cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya.