Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, kita telah menyaksikan berbagai peristiwa politik yang menunjukkan betapa rapuhnya sistem pemerintahan yang ada. Persoalan paling mendasar yang menghambat kemajuan bangsa ini adalah sistem yang buruk. Sistem yang tidak stabil ini memungkinkan berbagai permasalahan besar terus berulang, dari krisis politik, ekonomi yang stagnan, hingga kepemimpinan yang diragukan kapasitasnya. Mulai dari Bung Karno hingga Jokowi, kita melihat bagaimana kekuasaan sering kali jatuh bukan karena kegagalan di lapangan, tetapi karena rapuhnya sistem yang menopangnya.
Sukarno, sebagai presiden pertama, yang dikenal dengan ide-ide besar tentang nasionalisme, sosialisme, dan anti-imperialisme, akhirnya diturunkan dari kekuasaan melalui tekanan rakyat yang sudah lelah dengan kekacauan politik dan ekonomi pada masa akhir kepemimpinannya. Banyak yang menyebutnya sebagai kudeta halus, namun pada intinya, rakyat tidak lagi percaya pada sistem yang diciptakan oleh Sukarno, yang semakin condong pada otoritarianisme.
Setelah Sukarno, Suharto muncul sebagai pemimpin yang kuat dan berhasil mempertahankan kekuasaannya selama lebih dari tiga dekade, terpilih sebagai presiden hingga lima kali berturut-turut. Namun, Suharto tidak hanya mempertahankan kekuasaannya melalui mekanisme demokrasi yang formal, tetapi juga melalui kendali penuh terhadap militer dan lembaga negara. Sayangnya, di ujung kekuasaannya, Suharto terpaksa lengser akibat desakan rakyat dalam reformasi 1998. Krisis ekonomi yang parah serta korupsi yang merajalela selama masa Orde Baru membuat rakyat bangkit, memaksa Suharto mengakhiri kekuasaannya yang panjang. Meski begitu, sistem yang mendukung otoritarianisme selama bertahun-tahun tetap meninggalkan jejaknya dalam politik Indonesia hingga sekarang.
Setelah Suharto jatuh, B.J. Habibie yang naik menggantikannya, meski diakui berhasil membawa beberapa reformasi penting, tidak mampu bertahan lama. Meskipun ia berusaha membuka jalan bagi demokrasi yang lebih baik, pertanggungjawabannya ditolak oleh partainya sendiri, Golkar, yang masih berakar kuat pada kekuasaan Orde Baru. Habibie akhirnya harus mengakhiri masa jabatannya dengan cepat, menjadi contoh lain bagaimana buruknya sistem politik Indonesia yang kerap dipengaruhi oleh kepentingan elite dan bukannya kepentingan rakyat.
Kemudian muncul Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang terpilih sebagai presiden meskipun berasal dari partai terkecil. Gus Dur diharapkan membawa angin segar dengan reformasi-reformasi yang lebih demokratis. Namun, gesekan politik internal dan konflik kepentingan dengan koalisi yang membawanya ke tampuk kekuasaan menyebabkan ia di-impeach oleh parlemen. Gus Dur dilengserkan oleh mereka yang awalnya memilihnya, memperlihatkan betapa mudahnya perubahan kekuasaan terjadi dalam sistem yang buruk ini.
Megawati Soekarnoputri, putri Bung Karno, kemudian terpilih sebagai presiden bukan karena dukungan besar dari rakyat, tetapi lebih karena kompromi politik di antara partai-partai besar, terutama poros tengah yang dipimpin oleh Amien Rais. Ini mencerminkan bahwa di Indonesia, kekuasaan sering kali bukan ditentukan oleh pilihan rakyat atau kualitas kepemimpinan, tetapi oleh manuver politik elite yang mencari kepentingan sendiri.
Kemunculan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat pada tahun 2004 membawa harapan baru. Namun, selama dua periode pemerintahannya, SBY tidak luput dari kritik tajam. Meski berhasil mempertahankan stabilitas ekonomi, pemerintahannya dianggap lamban dalam melakukan reformasi, terutama dalam pemberantasan korupsi. Kritik dari rakyat terus menghujaninya, menunjukkan bahwa meski dipilih langsung oleh rakyat, kepuasan publik tidak mudah dicapai dalam sistem yang masih rapuh.
Joko Widodo (Jokowi), yang muncul dari latar belakang politik yang tidak menonjol, tiba-tiba melesat ke tampuk kekuasaan nasional. Jokowi belum menyelesaikan masa jabatan sebagai Walikota Solo ketika ia terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, namun kemudian meninggalkan jabatannya sebagai gubernur untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Pada titik ini, kita menyaksikan bagaimana sistem yang buruk memungkinkan seseorang dengan rekam jejak yang belum terbukti di tingkat nasional bisa langsung mencalonkan diri dan terpilih sebagai presiden. Jokowi, yang dipilih selama dua periode, pada akhir masa jabatannya bahkan mendorong anaknya untuk maju sebagai Wakil Presiden, sebuah langkah yang mencerminkan nepotisme yang jelas-jelas merusak nilai demokrasi yang sejati. Anak Jokowi, yang lebih tak layak dibandingkan ayahnya, berhasil mencalonkan diri sebagai wapres, memperlihatkan bagaimana sistem politik kita mengizinkan praktik-praktik nepotisme berlangsung dengan mulus.
Dari sini kita melihat pola yang terus berulang: sistem yang buruk terus melahirkan pemimpin-pemimpin yang bukan hanya dipertanyakan kapasitasnya, tetapi juga menunjukkan bagaimana kekuasaan di Indonesia selalu sarat dengan kompromi, nepotisme, dan manuver politik yang lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan daripada kepentingan rakyat. Sistem politik Indonesia, sejak kemerdekaan hingga hari ini, tidak pernah berhasil membangun fondasi yang kokoh untuk menjamin keberlangsungan demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.
Sistem pemerintahan dan konstitusi di Indonesia yang rapuh, yang sering kali diubah dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan elite, tidak memberikan stabilitas yang cukup bagi perkembangan politik dan ekonomi. Akibatnya, kita terus menyaksikan konflik internal, ketidakmampuan ekonomi untuk tumbuh di atas 5%, serta penurunan kualitas sumber daya manusia yang mencolok. Korupsi yang merajalela, lemahnya penegakan hukum, dan nepotisme semakin memperburuk keadaan.
Inilah alasan utama mengapa Indonesia membutuhkan reformasi total terhadap sistem politik dan hukumnya. Tanpa reformasi yang mendalam, Indonesia akan terus terjebak dalam siklus kepemimpinan yang tidak mampu membawa perubahan nyata, di mana nepotisme, korupsi, dan ketidakstabilan politik terus menjadi penghalang bagi kemajuan bangsa. Sistem yang buruk harus dirombak untuk menciptakan negara yang benar-benar berdaulat, demokratis, dan adil bagi seluruh rakyatnya.