Menanggapi tulisan terdahulu; https://fusilatnews.com/menyimpan-buku-jihad-bisa-menjadi-delik-hukum-diduga-terrorist-merencanakan-korupsi-mega-trilyunpun-bukan-kejahatan/
Yang saya minta Senior Damai Hari Lubis menanggapinya, inilah pendapatnya :
Hukum di Indonesia kerap kali menjadi subjek perdebatan karena sering kali terdapat ketidaksesuaian antara nilai-nilai yang dikandungnya dengan implementasinya di lapangan. Fenomena ini mencerminkan adanya paradoks, di mana aturan-aturan yang seharusnya menjadi pedoman kehidupan masyarakat justru menyisakan ruang ambiguitas dan bahkan hipokrisi. Berikut ini adalah analisis terkait beberapa paradoks hukum yang terjadi di Indonesia berdasarkan pendekatan sosiologi hukum dan solusi yang diusulkan.
A. Analisis Sosiologi Hukum: Paradoks dan Hipokrisi dalam Hukum Indonesia
- Ambiguitas dalam Penegakan Moralitas Publik
Fenomena ini tampak dalam hal ketidakkonsistenan terhadap norma moral, seperti dalam kasus konten-konten yang dianggap melanggar kesusilaan (misalnya pornografi). Peredaran gambar dan video pornografi masih mudah ditemukan di berbagai situs internet, namun upaya pemberantasannya masih setengah hati. Hal ini memperlihatkan bahwa penegakan hukum dalam hal moralitas sering kali bersifat ambigu dan kurang konsisten. Ajaran Komunisme dan Marxisme-Leninisme
Hukum Indonesia melalui UU No. 27 Tahun 1999 melarang penyebaran paham komunisme, namun memperbolehkan masyarakat memiliki literatur terkait ajaran ini selama tidak disebarluaskan. Ini menunjukkan sikap ambivalen, di mana negara tampak membatasi tetapi tidak sepenuhnya melarang secara eksplisit. Paradoks ini menimbulkan kebingungan dalam masyarakat, yang sering kali menerima paham tersebut dengan konotasi negatif tetapi tidak memahami esensi maupun konteks hukumnya.Inkonsistensi Penguasa dalam Menjalankan Prinsip Keagamaan
Meskipun mayoritas penguasa di Indonesia beragama Islam, banyak kebijakan yang seolah bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Al-Quran. Inkonsistensi dalam menjalankan nilai-nilai agama dalam kebijakan publik dapat mengarah pada persepsi hipokrisi. Banyak pemimpin yang terkesan mengedepankan retorika, tetapi dalam praktiknya justru melanggar nilai-nilai agama yang seharusnya dijunjung.Pemahaman Terhadap Pancasila yang Minim dan Sloganis
Ayat pertama Pancasila, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa,” seharusnya menjadi landasan moral bagi seluruh tindakan pemerintah dan masyarakat. Namun, implementasinya sering kali sekadar menjadi slogan, tanpa pemahaman mendalam. Maka, kebijakan yang diambil oleh penguasa sering kali hanya menampilkan Pancasila secara superfisial tanpa menginternalisasi nilai ketuhanan tersebut dalam berbagai kebijakan dan tindakan.Kurangnya Kajian Sejarah Terhadap Makna Pancasila Secara Resmi
Untuk mengatasi paradoks ini, perlu adanya kajian historis yang mendalam tentang kelahiran Pancasila sebagai ideologi negara. Kajian ini harus dilakukan secara objektif dan jujur oleh para ahli sejarah untuk menghindari distorsi atau kebohongan sejarah yang kerap kali terjadi. Publikasi hasil kajian ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran bersama mengenai arti sesungguhnya dari Pancasila, sehingga masyarakat tidak hanya memahami makna Pancasila sebagai slogan, tetapi sebagai fondasi nilai bangsa.
B. Solusi dan Usulan Metodologis
Menjaga Integritas Sejarah
Agar tidak terjadi kebohongan sejarah, diperlukan upaya pengarsipan dan publikasi resmi dari pemerintah mengenai sejarah kelahiran dan implementasi nilai-nilai Pancasila. Sejarah merupakan bagian penting dari ilmu pengetahuan, sehingga segala bentuk pemalsuan atau distorsi terhadapnya harus dihindari.Memperkuat Pemahaman Ideologi Pancasila di Kalangan Pemimpin dan Masyarakat
Setiap pemimpin seharusnya mempraktikkan makna sila pertama Pancasila, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa,” dalam segala tindakannya. Penekanan pada nilai agama mayoritas dalam negara ini tidak hanya sejalan dengan demokrasi, tetapi juga mencerminkan representasi budaya mayoritas bangsa Indonesia. Maka, pemimpin perlu menjadi teladan dalam mengamalkan nilai ketuhanan sebagai bagian dari tuntutan moral dan etika bernegara.Menghapus Praktik Hipokrisi dalam Penegakan Pancasila
Penting agar Pancasila tidak hanya sekadar menjadi alat retorika tanpa aplikasi nyata. Para penyelenggara negara diharapkan benar-benar mempraktikkan nilai-nilai Pancasila, bukan hanya sebagai bahan pidato. Pemahaman terhadap Pancasila yang mendalam perlu diberikan kepada masyarakat agar mereka tidak sekadar mengikuti simbol dan jargon, melainkan juga memahami substansi dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan memahami makna Pancasila secara utuh dan berkomitmen pada nilai-nilainya, diharapkan sistem hukum dan politik di Indonesia dapat sejalan dengan prinsip ketuhanan yang menjadi dasar negara. Selain itu, penyelarasan antara tindakan pemerintah dan nilai-nilai moral Pancasila dapat mendorong masyarakat untuk mencintai dan menghayati makna Pancasila, sehingga Pancasila tidak sekadar menjadi slogan tetapi menjadi pedoman dalam membangun karakter bangsa.