Jerit tangis suku Aborigine di Benua Australia, terdengar bak naviri keseluruh kuping-kuping Dunia. Suara rintihan seperti orang yang tersayat-sayat sembilu, jawabnya adalah hanya sebuah portal website, untuk menuliskan berbagai macam keluhan mereka, supaya Pemerintah Australia, dapat melayani penduduk asli yg termarginalkan oleh pendatang yang tak diundang itu.
Suara hati mereka terungkapkan dalam seuntai kalimat yang dalam maknanya, “Mengapa kalian memperjual-belikan tanah kami?”, teriak orang Aborigin, kepada telinga para pendatang haram itu. Bak Nasi telah menjadi bubur, apapun policy pemerintahan Australia memperlakukan hak yang sama kepada mereka, tetapi kultur dan status social mereka, tetap saja belum mencair sampai saat ini.
Saya telah menulis seperti ini, A quote from an Aboriginal man in Australia tends to sum up my feelings of cross cultural sensitivities and some of the pitfalls of misunderstanding:
“Dealing with white fellow law is like playing football when the other team and umpire are applying basketball rules. Not only has the goal post moved, but there’s not even a goal post anymore.”
Saya menyimak, tidak semua saudara Dayak Kita, suka dengan rencana Pembangunan Ibu Kota Nusantara itu. Ada sebagian yang sadar, bahwa kajian yang tidak antropologies -kulutral itu, akan memicu ketegangan social baru, seperti pengalaman mereka dengan suku Madura yang silam kelam itu. Memang beda casenya, tetapi penyebabnya, tetap basiknya adalah soal-soal sosio kultural itu.
Mari kita lihat, orang Betawi di Jakarta, mereka sudah pindah kepinggiran, tergerus oleh arus modernisasi oleh suatu system keniscayaan sebab-akibat. Apalagi pernah secara halus meminggirkan mereka , dengan menaikan PBB secara signifikan, yang membuat tak mampu membayarnya. Bahkan terjadi kepada seorang mantan Gubernur DKI yg legendaris itu.
Di Bali juga, sedang berproses. Lahan-lahan rakyat telah berpindah tangan ke orang-orang non Bali hingga ke pelosok-pelosok Desa.
Pun di Papua, sekarang baru mulai tersadarkan, bahwa nasib mereka seperti yang terAboriginalkan. Gerakan Pemberontakan orang Papua kepada Pemerintan RI, dasarnya adalah kehadiran orang-orang non Papua, yang dianggap Asing, telah meminggirkan dan merusak tatanan kehidupan mereka sendiri, ditanah airnya.
Kita dapat membayangkan, selanjutnya yang akan berperan kuat, adalah segelintir para Pengusaha yang mendapat konsesi hak guna usaha tanah negara itu, menguasai ratusan bahkan ribuan hektar, yang tanahnya akan menjadi Pusat Ibu Kota Tersebut. Dari persoalan ini, suku Dayak dan Adat, by the law, tidak punya peran apapun. Persoalan berikutnya, siapa yang akan datang di Ibu Kota Baru? Nah, inilah pangkal masalah besar, yang selama ini tidak masuk dalam kajian strategis, sebagai bagian untuk mengangkat masyaralat adat (indigenous people).
Perbedaan latar belakang budaya, system nilai, agama bahkan suku, menyebabkan pada pendatang itu, membangun komunitas baru, yang kemudian menjadi class exclusive,dalam berbagai aspek, terutama ekonomi.
Sementara lama sekali saya telah menulis Kalimatan The lost World, karena alasan ini :
Pulang dari Tokyo, Pesawat Garuda itu, terbang diatas Pulau Kalimantan. Saat itu udara cerah. Bisa leluasa melihat pemandangan ke bawah. Empat jam sebelum landing di Jakarta, saya yakin sedang berada melintas diatas Pulau Kalimantan.
Saya saksi hidup, bahwa Pulau Kalimantan itu, tidak berwarna Hijau karena rimbunnya tropical rain forest, sebagai para-paru Dunia. Ia hamparan tanah kering kecoklat-coklatan. Alur2 sungaipun, yang mengkilau tersorot sinar matahari, warnanya coklat. Pertanda Hutan Kalimantan sudah habis. Itulah mengapa saya menulis Kalimantan The Lost World.
Anak-anak dan cucu Kosasih pun, entah berada dan hidup dimana, saat ini. Kosasih adalah nama orang utang, yang sempat menjadi Rajanya, yang hidup di Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting, milik Jenderal Kosasih, yang di kirim kembali ke habitatnya. Ia suka merokok keretek, yang pernah berpelukan dengan Julia Robert.