Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik Konsultan & Survei Indonesia (KSI)
Jakarta – Rakyat dan DPR ibarat air dengan ikannya. Ikan tak bisa hidup tanpa air. Sebab itu, ikan harus selalu menyatu dengan air jika mau hidup seribu tahun lagi, seperti Chairil Anwar (1922-1949) dalam sajaknya berjudul “Aku” (1943).
Kini, DPR justru ibarat ikan yang mau memisahkan diri dari airnya. DPR justru sedang mencoba memisahkan diri dari rakyat.
Selain membangun pagar dan pintu gerbang tinggi-tinggi, DPR kini kantornya di Senayan, Jakarta, juga dijaga ketat oleh pasukan TNI.
Merasa Dimusuhi Rakyat
Mengapa DPR membangun gerbang tinggi-tinggi dan juga dijaga pasukan TNI? Karena para wakil rakyat itu merasa terancam.
Mengapa merasa terancam? Karena keputusan-keputusannya banyak yang tak berpihak kepada rakyat. Bahkan menzalimi rakyat.
Contoh paling konkret adalah keputusan soal tunjangan perumahan anggota DPR yang mencapai 50 juta rupiah per bulan per orang, yang kemudian dibatalkan setelah didemo rakyat.
Dan itu bukan monopoli DPR. DPRD di daerah-daerah juga terjangkit penyakit tamak yang sama. Bahkan tunjungan perumahan anggota DPRD DKI Jakarta mencapai 70 juta rupiah per bulan per orang. Lebih gila, bukan?
Di pihak lain, nasib rakyat kian sulit saja. Cari nafkah susah. Cari kerja susah. Sementara harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi.
Bahkan kini akan melambung lebih tinggi lagi setelah Presiden Prabowo Subianto memutuskan kenaikan gaji ASN, TNI dan Polri. Nasib rakyat akan kian menderita.
Sebab itulah, DPR makin merasa terancam saja. Mereka bercermin dari gelombang aksi demonstrasi massa yang diwarnai kericuhan akhir Agustus hingga awal September lalu.
Gerbang DPR sempat dijebol massa. Sejumlah gedung DPRD dibakar massa. Pada saat yang sama, massa juga menyasar kantor-kantor polisi.
Langkah Sia-sia
Akan tetapi, langkah DPR memasang gerbang tinggi-tinggi dan dijaga ketat pasukan TNI akan sia-sia belaka. Sebab kalau rakyat sudah marah, semua itu percuma saja. Tak ada artinya. Gedung DPR akan dengan mudah diduduki massa. Itu kalau massa mau.
Sebab itu, yang bisa membentengi DPR adalah keputusan-keputusan mereka sendiri. Kalau tidak berpihak bahkan menzalimi rakyat, jangan harap mereka akan selamat.
Sebab itu, langkah DPR membangun gerbang tinggi-tinggi dan dijaga ketat pasukan TNI mencerminkan pemikiran DPR yang, mohon maaf meminjam diksi Ahmad Sahroni, tolol!
Sebagai wakil rakyat, mestinya mereka tidak menjaga jarak dengan rakyat. Tidak memasang pagar tinggi dari jangkauan rakyat. Mudah ditemui rakyat. Sebab kalau rakyat mogok membayar pajak, hilanglah “nyawa” DPR. Sebab mereka digaji dengan uang negara yang berasal dari pajak rakyat.
Mestinya gedung DPR tak perlu dipagar. Apalagi tinggi-tinggi. Kapan pun rakyat datang, dipersilakan. Sebab mereka adalah wakil rakyat. Gerbang tinggi dan penjagaan ketat pasukan TNI akan sia-sia jika rakyat sudah marah. Pendudukan gedung DPR pada Mei 1998 buktinya.
Picu Polemik
Langkah pasukan TNI menjaga ketat gedung DPR justru memicu polemik. TNI, sebagaimana mandat konstitusi, tugas pokoknya adalah di ranah pertahanan. Bukan di ranah keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) yang merupakan tugas pokok Polri.
Dalam Undang-Undang TNI, yakni UU No 34 Tahun 2004 yang diperbarui dengan UU No 3 Tahun 2025, TNI memang punya tugas operasi militer selain perang (OMSP). Tapi OMSP dalam kerangka menjaga gedung DPR rasa-rasanya berlebihan. Sebab, hal itu akan membenturkan TNI dengan rakyat.
Di sisi lain, hal itu juga mencerminkan ketidakpercayaan DPR terhadap Polri. Sebab tugas pengamanan yang mestinya merupakan ranah Polri diserahkan kepada TNI.
Asumsi yang sama ditujukan terhadap langkah TNI mengamankan personel Kejaksaan RI. Apakah Kejaksaan Agung juga sudah tidak percaya lagi kepada Polri, sehingga menyerahkan pengamanan personelnya kepada TNI?
DPR, jangan peralat TNI lalu kalian benturkan dengan rakyat sendiri. Serahkan pengamanan DPR kepada Polri!