Jakarta-Fusilatnews – Kejaksaan Agung menetapkan Thomas “Tom” Lembong sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula mentah. Lembong dituduh mengeluarkan izin impor gula kepada perusahaan swasta tanpa rekomendasi dari Kementerian Perdagangan, yang seharusnya menjadi wewenang Bulog. Akibat perizinan tersebut, negara dirugikan sekitar Rp400 miliar.
Sementara itu, kasus serupa dengan nilai kerugian lebih besar, yakni kasus dugaan korupsi minyak goreng yang ditangani oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto, tidak ditindaklanjuti secara hukum. Kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan mencapai Rp6,47 triliun.
Pada saat itu, pemerintah menetapkan kebijakan bahwa produsen minyak goreng wajib memasok 20% dari total produksi CPO ke pasar domestik. Namun, tergiur oleh harga internasional, beberapa perusahaan memilih untuk mengekspor seluruh produksi mereka, mengabaikan kebutuhan dalam negeri. Kebijakan ini diduga terjadi dengan sepengetahuan Kementerian Koordinator Ekonomi yang dipimpin Airlangga.
Meskipun Airlangga pernah dipanggil oleh Kejaksaan Agung untuk memberikan keterangan, kasus tersebut kemudian tenggelam setelah Airlangga dan Partai Golkar menyatakan dukungan mereka untuk pasangan Prabowo-Gibran di Pemilu 2024. Publik mengkritik penanganan kasus ini sebagai cerminan tebang pilih dalam penegakan hukum, dengan mengesankan bahwa aparat hukum dijadikan alat politik untuk menguntungkan kelompok tertentu.
Pengamat hukum Ahmad Khozinudin menilai bahwa praktik tebang pilih ini bukanlah fenomena baru di era pemerintahan Presiden Jokowi, melainkan terus berlanjut di bawah kepemimpinan Prabowo. “Jika Tom Lembong merupakan bagian dari koalisi KIM yang mendukung Prabowo, bisa jadi kasus ini tidak akan dibawa ke pengadilan. Faktanya, Airlangga yang memiliki potensi kerugian negara jauh lebih besar malah tetap aman di jabatannya,” ujar Khozinudin.
Dalam pandangan Khozinudin, hukum di Indonesia telah dijadikan produk politik yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok penguasa ketimbang prinsip keadilan. Menurutnya, aparat penegak hukum yang berada di bawah kendali eksekutif pasca-amandemen UU KPK cenderung menerapkan standar ganda dalam menegakkan hukum.
Hukum yang “Menebang” Lawan Politik, Menjaga Teman Dekat
Khozinudin menyayangkan bahwa hukum kerap kali digunakan untuk menjatuhkan lawan politik, sementara dugaan pelanggaran oleh sekutu dibiarkan tanpa tindak lanjut. Ia mencontohkan, pengabaian pada kasus Airlangga seolah memberi kesan bahwa keadilan di Indonesia terkesan tajam ke lawan, tumpul ke kawan.
“Ketidakadilan bukan hanya terjadi pada ulama dan aktivis yang dikriminalisasi karena menyampaikan pendapat, tetapi juga ketika penegakan hukum diperlakukan sebagai alat politik. Baik di era Jokowi maupun Prabowo, semuanya sama-sama tidak adil,” tegasnya.