FusilatNews – Pada Senin malam, 28 April 2025, layanan Shinkansen di Jepang bagian barat dihentikan selama hampir dua jam setelah terjadi insiden tragis. Seperti dilaporkan JR West, penghentian terjadi setelah pekerja menemukan bagian tubuh manusia di antara Stasiun Fukuyama dan Shin-Onomichi di Prefektur Hiroshima. Operasional jalur Sanyo Shinkansen yang menghubungkan Osaka dan Fukuoka terganggu, menyebabkan pembatalan dan penundaan perjalanan hingga dua setengah jam.
Sekilas, ini tampak “hanya” sebagai berita kecelakaan. Namun di balik setiap berita seperti ini, tersembunyi masalah besar yang telah lama menghantui Jepang: angka bunuh diri yang mengkhawatirkan, tekanan sosial yang akut, dan perjuangan bangsa ini dalam melindungi kesehatan mental warganya.
Jalur Kereta dan Bunuh Diri: Sejarah Luka yang Panjang
Jalur kereta di Jepang, termasuk jalur Shinkansen, telah lama menjadi tempat tragis di mana banyak orang mengakhiri hidupnya. Fenomena ini bukan baru. Sejak era pascaperang, ketika Jepang mengalami transformasi sosial dan industrialisasi besar-besaran, tekanan hidup di kota-kota besar melonjak drastis. Ekspresi tekanan psikologis, rasa malu, beban ekonomi, dan ketidakmampuan mengatasi kegagalan pribadi banyak kali berakhir di rel-rel kereta.
Dalam beberapa dekade terakhir, tingginya angka bunuh diri di rel menyebabkan banyak perusahaan kereta api, seperti JR East dan JR West, memberlakukan berbagai upaya pencegahan. Salah satu tindakan nyata adalah pemasangan platform screen doors (pintu peron otomatis) di banyak stasiun untuk mencegah seseorang melompat ke jalur. Di tempat-tempat yang tidak bisa dipasangi pintu, petugas keamanan tambahan dan kamera pengawas intensifkan patroli.
Selain itu, perusahaan kereta memperkenalkan penerangan berwarna biru di banyak stasiun dan jalur kereta. Penelitian menunjukkan bahwa cahaya biru dapat memiliki efek menenangkan pada emosi manusia dan menurunkan tingkat impulsif seseorang untuk bunuh diri.
Namun, semua langkah teknis ini belum sepenuhnya menyelesaikan masalah. Di jalur Shinkansen yang bergerak dalam kecepatan tinggi hingga lebih dari 300 km/jam, bahkan sistem pengamanan tercanggih pun sulit mengantisipasi seseorang yang nekat memasuki jalur.
Beban Tak Terlihat: Trauma Masinis, Biaya Sosial, dan Luka Kolektif
Ketika seseorang memilih mengakhiri hidupnya di jalur kereta, dampaknya tidak hanya pada dirinya sendiri. Masinis Shinkansen yang mengalami kejadian ini seringkali harus menjalani terapi kejiwaan akibat trauma berat. Menyaksikan tubuh seseorang dipecah oleh kereta yang melaju kencang adalah pengalaman yang menghantui seumur hidup.
Secara ekonomi, perusahaan kereta menderita kerugian besar akibat keterlambatan massal, ganti rugi kepada penumpang, dan biaya pembersihan jalur. Tidak jarang, keluarga korban juga dibebani tuntutan kompensasi oleh operator kereta — sebuah praktik yang menambah beban rasa bersalah bagi keluarga yang ditinggalkan.
Di atas semua itu, ada luka sosial yang lebih luas: setiap insiden menjadi cermin dari masyarakat yang, entah bagaimana, gagal menyediakan cukup banyak ruang bagi orang-orang yang terluka untuk bertahan hidup.
Berubah Perlahan: Kesadaran Baru di Jepang tentang Kesehatan Mental
Meski perubahan sosial berjalan lambat, Jepang mulai menapaki jalan baru. Pemerintah Jepang kini lebih terbuka dalam mengkampanyekan pentingnya kesehatan mental, meskipun stigma terhadap depresi dan keinginan bunuh diri masih kuat.
Hotline konseling seperti TELL Lifeline dan Inochi no Denwa aktif selama 24 jam, menawarkan tempat bagi mereka yang butuh didengar. Di stasiun-stasiun utama, poster dan informasi bantuan psikologis dipasang untuk mengingatkan bahwa masih ada jalan lain selain mengakhiri hidup.
Pemerintah daerah, sekolah, dan tempat kerja mulai memasukkan program pelatihan tentang stres dan kesejahteraan emosional. Namun, akar budaya Jepang yang mengagungkan ketahanan diri (gaman), ketidakinginan untuk merepotkan orang lain (meiwaku), dan kecenderungan menyimpan masalah pribadi rapat-rapat membuat perubahan mentalitas menjadi perjalanan panjang.
Refleksi: Di Antara Rel dan Harapan
Tragedi di jalur Sanyo Shinkansen kali ini mengingatkan kita semua bahwa modernitas, kecepatan, dan kemajuan teknologi seperti Shinkansen — kebanggaan Jepang — tidak selalu mampu menyentuh luka terdalam manusia. Rel secepat apapun tidak bisa melaju lebih cepat dari rasa kesepian, rasa gagal, atau rasa hampa yang dirasakan banyak individu di tengah hiruk-pikuk dunia modern.
Dunia mungkin mengagumi kecepatan Shinkansen, namun yang jauh lebih penting adalah memastikan bahwa di sepanjang rel itu, tidak ada lagi jiwa-jiwa yang merasa tak punya jalan keluar selain melompat ke tengah lintasan.
Dalam negara seefisien dan sesibuk Jepang, memperlambat sejenak untuk mendengarkan satu sama lain, untuk merangkul tanpa menghakimi, bisa jadi adalah langkah kecil namun krusial untuk menghindari tragedi berikutnya.