Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024
Jakarta, Fusilatnews – Kasus Cicak versus Buaya, yang terjadi hingga tiga kali, ternyata hingga kini masih membayangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pimpinan lembaga antirasuah itu pun trauma. Akibatnya, KPK mengalami ketakutan jika hendak menangkap polisi atau jaksa yang terindikasi terlibat korupsi. Mereka takut dikriminalisasi.
Ihwal masih traumanya KPK dengan kasus Cicak vs Buaya tersebut tersirat dari pengajuan Ketua KPK Nawawi Pamolango yang kemudian dipertegas oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam rapat kerja KPK dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/7/2024).
Diberitakan, dalam rapat kerja itu Nawawi Pomolango tiba-tiba mengungkapkan ada permasalahan terkait hubungan antara KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung (Kejagung). Yakni, soal koordinasi dan supervisi yang menjadi tugas KPK, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 yang diperbarui dengan UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Di forum yang sama, Alexander Marwata kemudian menjelaskan, jika ada jaksa yang ditangkap oleh KPK, Kejagung pasti akan menutup pintu koordinasi dan supervisi.
Alexander juga menyebut, Polri pun melakukan hal yang sama seperti Kejagung jika ada polisi yang tertangkap KPK.
Dengan problem tersebut, Alex khawatir KPK tidak akan berhasil dalam memberantas korupsi. Apalagi, secara kelembagaan, regulasi, dan sumber daya manusia (SDM), KPK juga bermasalah.
Alex mengaku tidak tahu para penyidik KPK loyal kepada siapa. Itu dari sisi SDM.
Dari sisi kelembagaan, Indonesia tidak seperti Singapura atau Hongkong, misalnya, yang berhasil dalam memberantas korupsi, di mana negara-negara itu justru hanya punya satu lembaga yang menangani perkara korupsi. Seluruh isu terkait korupsi, satu lembaga itulah yang menangani.
Sementara di Indonesia, ada tiga lembaga sekaligus yang menangani pemberantasan korupsi, yakni KPK, Polri dan Kejagung.
3 Jilid Cicak vs Buaya
Istilah Cicak vs Buaya dicetuskan pertama kali oleh Susno Duadji, Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri saat itu, ketika terjadi perselisihan antara KPK dan Polri.
Susno menganalogikan KPK sebagai cicak yang kecil dan lemah, sedangkan Polri bak buaya yang besar dan kuat. Kasus Cicak vs Buaya terjadi hingga tiga kali atau tiga jilid.
Dikutip dari detik.com, 7 Mei 2021, kasus Cicak vs Buaya jilid 1 terjadi pada Juli 2009 atau di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Perseteruan tersebut berawal dari isu yang beredar soal adanya penyadapan oleh KPK terhadap Kabareskrim Polri saat itu, Komjen Susno Duadji. Susno dituduh terlibat pencairan dana dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna.
Puncak kasus Cicak vs Buaya jilid 1 terjadi ketika Bareskrim Polri menahan dua Wakil Ketua KPK, yakni Bibit Samad Riyanto dan Chandra Martha Hamzah. Penahanan dua komisioner KPK ini memantik reaksi keras dari para aktivis antikorupsi.
Dua pekan setelah Bibit-Chandra ditahan polisi, Presiden SBY angkat bicara. Menurut SBY, ada sejumlah permasalahan di ketiga lembaga penegak hukum saat itu, yakni Polri, Kejagung dan KPK.
Oleh karena itu, kata SBY, solusi dan opsi lain yang lebih baik, yang dapat ditempuh adalah pihak kepolisian dan kejaksaan tidak membawa kasus ini ke pengadilan dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan, namun perlu segera dilakukan tindakan-tindakan korektif dan perbaikan terhadap ketiga lembaga penting itu, yakni Polri, Kejagung dan KPK.
Tiga tahun kemudian, kasus Cicak vs Buaya kembali terjadi pada awal Oktober 2012, masih di pemerintahan SBY, yang dikenal dengan kasus Cicak vs Buaya jilid 2.
Kasus ini dipicu oleh langkah KPK mengusut kasus dugaan korupsi Simulator SIM yang menjerat Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo.
Jumat (5/10/2012) malam, puluhan anggota Brigade Mobile (Brimob) Polri mengepung Gedung KPK di Kuningan, Jakarta Selatan. Mereka berniat menangkap salah satu penyidik KPK, Komisaris Novel Baswedan yang dituduh terlibat aksi penganiayaan berat saat masih bertugas di Polda Riau.
Para aktivis antikorupsi kembali beraksi atas aksi kepolisian yang mengepung Gedung KPK tersebut. Mereka membuat pagar betis di Gedung KPK dan mendesak agar Presiden SBY turun tangan.
Tiga hari kemudian, Presiden SBY angkat bicara. SBY sangat menyesalkan pengepungan Gedung KPK oleh puluhan personel Brimob itu.
Menurut SBY, apabila KPK dan Polri bisa memberikan penjelasan yang jujur dan jelas, kasus Cicak vs Buaya jilid 2 ini tidak akan terjadi.
Cicak vs buaya kembali muncul di era Presiden Joko Widodo pada 2015, atau kasus Cicak vs Buaya jilid 3. Sebelas hari setelah KPK menetapkan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka, Polri menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto, Jumat (23/1/2015).
Lima jam setelah penangkapan Bambang Widjajanto, Presiden Jokowi memanggil Ketua KPK dan Wakapolri. Tiga jam kemudian, Jokowi memberikan pernyataan singkat.
Jokowi meminta kepada institusi Polri dan KPK memastikan bahwa proses hukum yang ada harus objektif dan sesuai dengan aturan dan undang-undang yang berlaku.
KPK yang didukung ratusan aktivis pro-pemberantasan korupsi pun dengan lantang memprotes tindakan Polri tersebut.
Kini, kasus Cicak vs Buaya yang pernah terjadi hingga tiga kali itu terus membayangi Pimpinan KPK. Mereka trauma. Mereka takut dikriminalisasi jika menangkap polisi atau jaksa. Itulah!