Oleh: Radhar Tribaskoro
Saya kira sudah banyak sekali dibahas bahwa rasio Utang/PDB bukan ukuran yang tepat untuk menunjukkan apakah utang masih sehat. Tetapi masih saja ada orang yang memakainya. Orang itu akan bilang, jangan khawatir rasio Debt/GDP baru 40%. Masih aman dibandingkan dengan Jepang yang 150%.
Saya tahu tujuannya adalah untuk menutupi fakta bahwa utang Indonesia sudah sangat tidak sehat. Kalau utang sudah tidak sehat, susah dapat utang baru. Kecuali ditawarkan dengan bunga gila-gilaan. Bukankah itu yang terjadi sehingga SUN tidak laku lagi di luar negeri?
Ada dua lembaga internasional yang menganjurkan indikator untuk keperluan itu, yaitu IMF (International Monetary Fund) dan IDR (International Debt Relief). Kedua lembaga itu menganjurkan penggunaan 3 macam indikator. Pertama rasio debt service (bunga plus cicilan utang) terhadap penerimaan atau disebut juga Debt Service Ratio. DSR Indonesia sekarang sudah sebesar 46,77% melampaui rekomendasi IMF sebesar 25% – 35% (Sumber: Laporan BPK 2020). Adapun DSR Jepang hanya 15% (Sumber: Japanese Public Finance Report 2020).
Indikator kedua untuk mengukur sehatnya utang adalah rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan. Untuk Indonesia 2020 rasio sudah sebesar 19,06%. Angka ini JAUH MELAMPAUI rekomendasi IDR sebesar 4,6% – 6,8%. Jepang 5,4%.
Indikator ketiga adalah rasio utang terhadap penerimaan. Untuk tahun 2020 rasio sudah mencapai 369%, JAUH MELAMPAUI rekomendasi IDR sebesar 92% – 167% dan rekomendasi IMF sebesar 90% – 150%.
Untuk diketahui, hingga akhir Desember 2020, utang pemerintah sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun. Posisi utang ini naik cukup tajam dibandingkan dengan akhir tahun 2019 lalu. Dalam satu tahun, utang Indonesia bertambah Rp 1.296,56 triliun dari akhir Desember 2019 yang tercatat Rp 4.778 triliun.
Utang Indonesia sudah dalam kondisi SANGAT BERBAHAYA.